Tangan Jihan menuliskan jawaban dengan cepat. Pasalnya Bu Tia mengatakan setelah ulangan matematika mereka diperbolehkan istirahat lebih cepat. Jihan memutuskan untuk pergi ke Ruang Seni setelah itu dan melanjutkan pekerjaannya untuk lomba yang belum selesai ia kerjakan. Tersisa kurang dari 2 minggu lagi, maket itu sudah harus ditampilkan dan mereka baru mengerjakan separuhnya. Ia berdiri dari kursinya dan pergi menyerahkan kertas jawaban.
Bu Tia yang melihatnya pun tersenyum dan berkata, "Jihan pasti mau lanjutin maket? Ganbatte Jihan."
Jihan tertawa dengan suara yang kecil agar tak mengganggu temannya yang lain dan izin meninggalkan kelas. Teman-temannya yang masih berkutat dengan soal pun sedikit meliriknya. Beberapa dari mereka bermuka melas dan mengharapkan bantuan dari Jihan. Namun ia hanya bisa tersenyum sambil menyemangati mereka tanpa suara dan berjalan keluar dari kelas.
"Andai Aku nggak sebodoh ini," ujar Bella tiba-tiba memecah keheningan kelas.
Dengan sigap Jihan berjalan menuju Ruang Seni. Tak ada seorang pun di Ruang Seni yang sangat berantakan dengan bau kayu dan cat dimana-mana. Rasanya lebih tenang tidak ada adu mulut anak putra yang biasanya ia dengar. Suara sumbang Ilham yang terus bernyanyi tanpa kenal lelah, omelan Izzan dan kelakuan usil Reza ditengah pekerjaannya yang sering membuat kedua temannya kesal. Tiba-tiba bel istirahat berbunyi. Mendengar itu Jihan mencoba bekerja lebih cepat agar tidak terbalap oleh waktu. Tak lama kemudian, tiba-tiba seseorang masuk dan mengagetkannya.
"Kukira nggak ada orang," kata Reza yang berjalan mendekati Jihan, "kamu bolos ya?"
"Nggak lah. Aku keluar duluan karena habis ulangan," elak Jihan yang tetap fokus bekerja.
Jihan melirik Reza yang kini sedang memperbaiki kawat yang berada di seberangnya. Ia terus teringat pada roti yang ada di atas tasnya beberapa waktu lalu. Bahkan sudah mencoba menyelidiki secara diam-diam teman kelasnya satu per satu. Namun, saat itu tak ada teman sekelas Jihan yang berada di sekitar Ruang Seni dan hanya ada mereka berempat. Arra saat itu berada di lapangan bersama yang lain termasuk Luna. Prasangkanya pada Luna juga runtuh setelah anak itu mengajaknya makan di restoran 'all you can it' setelah seharian penuh tak makan atau pun jajan. Tulisan tangan di kertas itu juga sulit untuk ditebak. Jihan tidak pintar menebak tulisan tangan orang lain selain teman sekelasnya.
Jika Aku tanya dia... Ah! Tapi kalau bukan dia dan ketika mode tengilnya aktif dia bisa saja membuat gosip aneh tentangku. Aku juga pasti malu karena berpikir dia yang memberikannya. Sepertinya memang bukan dia. Tapi... jika bukan dia, siapa? Ilham? Izzan? Kalau memang memang salah satunya.. sama saja akan jadi gosip! Aku harus cari alasan yang bagus!
Ketika rasa penasaran semakin memuncak dan memutuskan untuk hendak bertanya, Vera secara tiba-tiba masuk dan mendekati Jihan.
"Oy! Jihaaan, sibuk ya?"
Jihan terkejut, "I-iya... Begitulah. Kenapa? Gimana ulangannya?"
"Kamu sih keluar duluan. Tinggal satu nomor belum selesai kukerjakan nih," omelnya dengan nada lucu.
"Ulangan Bu Tia kah? Enak banget nggak ketahuan bisa dapat contekan. Aku malah ketahuan," kini Reza ikut nimbrung.
"Bisalah! Kita kan pro, ya nggak Han? Apa sih yang nggak bisa bagi Jihan. Beruntung ada orang yang pintar dan baik kayak Jihan di kelasku. Hahaha..."
Keduanya asyik berbicara sementara Jihan hanya terdiam mendengar percakapan keduanya sembari fokus pada kerjaannya. Lagi-lagi sepertinya Vera lupa dengan tujuannya. Jihan memotong pembicaraan keduanya dan bertanya maksud kedatangan Vera.
"Oh iyaaa Aku lupa! Anu Han, kapan selesai ngerjainnya? Kayaknya kita butuh kamu buat ikut basket. Maksudnya... cadangan. Jadi ikut latihan setelah softball."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Memories [End]
Fiksi Remaja[Cerita ini cocok buatmu yang kangen SMA dan kekonyolan anak menuju dewasa] They said 'school is suck'. Well, itu salah. Kenyataannya, Sekolah adalah hal yang paling menyenangkan dan tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Begitulah menurut Jih...