Nabila 3 • Woman Pride

10.4K 1.2K 90
                                    

Selamat membaca ❤️

***


Orang bilang kemungkinan cinta dalam diam seseorang bisa berhasil tidak lebih dari lima puluh persen. Dan akan semakin menurun persentasenya jika pihak perempuan lah yang menjalaninya. That's why the end of the story-nya bakal berakhir tragis pada kenyataannya.

Apa dalam jatuh cinta bahkan tidak ada kesetaraan gender?
Batinku saat pertama kali melihat kalimat itu dalam sebuah postingan di Instagram.

Meskipun demikian, aku sebenarnya adalah termasuk yang setuju dengan pendapat ini. But the some point-nya, aku juga adalah tipe yang tidak suka memendam apa yang aku rasakan.

Aku adalah tipe yang ceplas-ceplos, ngacol, dan kadangkala juga tidak bisa memfilter apa yang diucapkan. Apa yang terlintas di benakku pasti akan aku utarakan tanpa pikir panjang.

Confess.
Cara terbaik agar tidak menyesali keputusan di masa depan yang aku pikirkan!

"Gue suka lo, Bar"

Aku berucap lantang sambil menatap lurus pada lelaki jangkung yang tengah bersiap untuk men-shoot bola basket yang ada di tangan. Gerakannya sempat terhenti selama beberapa detik, namun kemudian dengan santai dia melemparkan bola itu melambung cantik ke arah ring basket yang ada beberapa meter di hadapannya. Dan ya, sudah pasti masuk dengan mulus, three point.

Lelaki yang hari itu memakai jersey bernomor punggung 21 menoleh ke arahku, lalu melangkah perlahan mendekat. Langkahnya membuat debar di dada tidak beraturan, dan ketika langkahnya tinggal setengah meter dariku dia justru memilih untuk berhenti. Tanpa senyum dan tanpa kata.

Aku mendongak untuk melihat matanya. Tinggiku yang  hanya berada di angka 165 cm ini belum lah cukup untuk berdiri dengan seimbang dihadapannya.

Saat kedua mata kami akhirnya bersinggungan, hanya tatapan datar yang lagi-lagi terlihat di wajah sosok bernama Mahesa Akbar itu. Sebuah tatapan yang tidak pernah aku bayangkan akan diberikannya padaku sebelumnya.

"Jangan..." Jawabnya pendek

Aku mengernyit bingung, "Jangan apa?" Tanyaku tidak mengerti.

Aku adalah tipe yang tidak suka dengan kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Terlalu malas untuk memikirkan maksud sebenarnya, karena menurutku percakapan yang to the point adalah yang paling efektif untuk dilakukan.

Ya bilang ya, tidak bilang tidak. Singkatnya jangan membuat kalimat yang memiliki maksud abu-abu yang bisa di salah pahami.

"Jangan suka gue, " Balasnya tenang, terlalu tenang seperti baru saja membahas hal yang sederhana.

Munafik jika hatiku tidak merasa sakit hanya dengan satu kalimatnya barusan. Siapa yang tidak sedih jika pernyataan cintanya langsung ditolak begitu saja? Aku rasa jika orang itu normal, tentulah sedih adalah hal yang sudah pasti dirasakannya.

"Kenapa?" Perasaan sakit mulai benar-benar merayap di hatiku. Entah kenapa efek dari kalimatnya bisa seluar biasa itu bagi diriku. Rasa percaya diri yang tadi begitu menggebu, kini mulai terasa surut dan menghilang entah kemana.

Perlahan tangan sang pria terangkat naik, mengacak rambutku yang basah oleh peluh karena baru saja menyelesaikan satu game pertandingan basket one on one dengannya yang menguras tenaga.

Bagaimana dia bisa bersikap seperti itu saat barusaja melontarkan satu kalimat yang dia sendiri tau dampaknya akan seperti apa?

"Karena gue nggak mau nyakitin elo, dan selamanya akan selalu kayak gitu," Ucapnya tegas.

Well, bullshit sekali.
Barusan saja hanya dengan ucapannya, sudah terlanjur menyakitiku.

Kalimatnya barusan sepertinya hanyalah sebuah angin lalu, sebuah ucapan manis untuk menolak perasaanku terhadapnya. Cara yang biasanya dilakukan oleh laki-laki untuk menolak pernyataan cinta dari perempuan yang tidak disukainya.

Aku tertawa miris. Lalu memejamkan mata sebentar, dan berusaha menahan air mata yang hendak keluar dari tempatnya.

Jangan menangis sekarang, Na- ucapku pada diri sendiri.

Ternyata patah hati itu menyakitkan, dan ternyata cinta bertepuk sebelah tangan itu juga menyedihkan.

"Oke. Gue ngerti," Akhirnya setelah berhasil mengendalikan diri, hanya dua kata itu yang mampu kuucapkan sebelum berbalik dan berjalan keluar dari lapangan basket. Meninggalkan sang pria - Akbar, dengan tatapan mata yang penuh dengan misteri didalamnya.

***

Aku menghela nafas berat, entah kenapa mengingat kejadian sebulan lalu yang membuatku sakit dan malu di saat yang sama tetap saja tidaklah mengenakkan.

Meski aku sudah berhasil melupakannya, bukan berarti mengingat sebuah penolakan adalah hal yang biasa.Pada dasarnya manusia adalah mahluk yang tidak suka mengalami penolakan, dan mau bagaimana pun konteks penolakan tersebut tetap saja akan meninggalkan kenangan lama yang sulit untuk dilupakan. Setidaknya itulah yang aku alami bahkan hingga sekarang.

Akbar adalah salah satu temanku SMA yang kini belajar di universitas yang sama denganku. Dan sikapnya yang penuh perhatian selama dua bulan terakhir itu, membuatku mempersepsikan jika sosoknya menyukaiku.

Laki-laki super perhatian yang bahkan sangat peduli tentang hal-hal kecil yang berkaitan dengan seorang Nana.

Lalu apakah salah jika aku merasa dia menyukaiku? Tentu saja tidak.

Wanita adalah mahluk yang memiliki hati lembut dan mudah tersentuh.
Seberapa pun mandirinya dia, sejatinya dia adalah mahluk yang senang bergantung dengan laki-laki yang dirasanya bisa melindungi.

Ayolah, aku juga tidak berbeda dengan mereka.

Berangkat dari modal nekad itulah aku memberanikan diri untuk mengatakan jika aku menyukainya, meski ku tahu bahwa dia adalah orang yang memang dikenal sebagai pemangsa di lingkungan pertemanannya.

No one impossible, satu kalimat yang waktu itu mengalirkan semangat padaku. Everything will be change, sebuah prinsip yang aku yakini juga bisa merubah sikap dan kepribadian seseorang. Yang lambat laun kusadari, semuanya tidak semudah yang ada dalam pikiran.

Dan benar saja, seminggu setelah kejadian itu aku mendengar kabar jika dia, laki-laki so called Akbar telah berpacaran dengan Bela, salah satu teman jurusanku yang hanya ku tahu namanya.

Aku menghela napas lega. Benar-benar merasa bersyukur karena pada saat aku menyatakan perasaan sialan itu, hanya ada kami berdua di sana. Dan lebih bersyukur lagi karena aku tidak memohon untuk apapun setelah dia menolak menerima perasaanku padanya.

Appreciate banget buat lo, Na!
Aku mengapresiasi diriku sendiri yang sudah melakukan hal yang benar.

Oke guis, sejauh ini gimana menurut kalian?
Boleh banget ya kasih kritik dan saran!

Luv banyak-banyak ❤️

Point OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang