Jantungku lagi-lagi berdegup tidak karuan, ketika mendapati seseorang dibalik pintu yang menyunggingkkan senyumnya itu adalah laki-laki yang beberapa hari lalu membuat mood ku berantakan. Untungnya, aku memiliki self control yang cukup baik sehingga mampu mengendalikan ekspresi dihadapannya.
Sejujurnya aku tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini. Ketika aku mendengar suara ketukan dari luar tadi, aku sama sekali tidak berfikir atau berekspektasi jika orang yang mengetuk pintu rumahku itu adalah Mas Gilang. Mungkin juga itu karena mama bilang bahwa salah satu temannya akan datang, sehingga satu kemungkinan yang muncul di dalam otakku bukanlah skenario yang barusan aku alami. Alhasil, aku membukakan pintu dengan penampilan yang awut-awutan, masih menggunakan celemek yang bertaburkan tepung, dan mungkin juga dengan wajah yang sudah tidak mengenakkan untuk dipandang. Pokoknya, ini sungguhan penampilanku yang paling berantakan dari penampilan biasaku setiap harinya. You can't belief that! Benar-benar totalitas, be ran tak kan nya.
Senyumnya masih saja merekah meskipun aku tak kunjung jua mempersilahkannya masuk. Setelahnya dia malah tertawa kecil ketika menyadari seberapa hancurnya penampilanku.
"Mas Gilang ke sini mau ngapain sih?" Spontanitas apa yang berada dalam pikiranku kusuarakan.
Sesungguhnya aku melemparkan pertanyaan barusan karena tidak tahu harus bersikap seperti apa. Menutup kembali pintu tanpa mempersilahkannya masuk? Tentu saja aku mungkin akan segera di coret dari daftar kartu keluarga.
Dia terkekeh sambil melirik jam tangannnya. "Mau iseng main aja. Ngobrol-ngobrol. Lo, baru masak?" Tanyanya dengan raut wajah yang kelihatan sangat bahagia.
Pertanyaannya langsung membuatku terpaku. Entah kenapa aku merasa bahwa aku butuh mandi dan berganti baju sekarang. Padahal, aku belum memastikan siapa yang akan diajaknya ngobrol-ngobrol. Mungkin saja Mas Panca kan? Karena tidak jarang juga weekend seperti ini teman-temannya datang untuk hanya sekedar mengobrol saja.
"Siapa, Mbak?" Suara mama berhasil menyadarkan lamunanku barusan.
"Tamunya Mas Panca mah," Teriakku agar mama yang berada di dapur mendengar ucapanku.
"Gue mau ketemu lo, Na. Bukan Panca." Tiba-tiba Mas Gilang menanaggapi teriakanku barusan.
Bohong jika aku tidak kaget dengan ucapannya. Walaupun sudut hatiku memang mengharapkan jika aku lah yang sebenarnya menjadi tujuan utamanya kesini, ketika asumsiku menjadi nyata justru aku sendirilah yang sulit percaya.
Aku kembali menoleh untuk memandangnya. "Tunggu bentar!" Secepat yang aku bisa aku berbalik dan berlari naik menuju ke kamarku. Bahkan, aku membiarkannya di depan pintu rumah karena lupa tidak mempersilahkannya masuk dan menungguku di ruang tamu.
Tanpa sempat memikirkan nasib Mas Gilang di luar sana, aku langsung mengambil sebuah kaos lengan pendek berwarna hijau tosca dengan celana selutut dengan warna senada untuk menggantikan kaosku yang sudah penuh belepotan bahan untuk membuat kue tadi.
Dengan langkah terburu, aku menyempatkan membasuh wajahku untuk memastikan tidak ada noda yang tertinggal, lalu memakai sedikit bedak tabur untuk menyamarkan wajahku yang kurasa sudah begitu kusam. Segera aku keluar kamar untuk kembali menemui Mas Gilang.
Baru sampai pintu, aku kembali menuju ke arah cermin karena belum memakai lipbalm. Bibirku mungkin akan terlihat kering jika tidak menggunakannya. Aku tersenyum, kemudian kembali berjalan menuju pintu. Baru dua langkah, aku kembali lagi (dan lagi) karena belum memakai parfum.
"Nah, perfect!" Ucapku sebelum berjalan keluar.
Ah, sial! Aku belum merapikan rambutku yang sedari pagi sudah ku kuncir dengan model ponytail.
Sudahlah, Na.
***
"Nah ini nih nak Gilang, Nabilanya!" Mama dan Mas Gilang kompak menoleh kearahku ketika aku masih berada dalam radius lima meter dari keberadaan mereka berdua.
"Hai, Mas!" Reflek aku berujar demikian karena tidak tahu apa yang harus aku katakan.
Kudengar mama berdecak pelan, sedang Mas Gilang membalas sapaanku dengan wajah sungkan kepada mama.
Astaga!! Bisa-bisanya aku malah melupakan keberadaan Bu Mayang disini.
"Katanya tamunya Mas mu mbak, ternyata waktu mama tanya tamunya kamu loh ini... Malah ditinggalin di depan nggak disuruh masuk. Gimaana sih?"Mama terang-terangan menyindirku di hadapan Mas Panca.
Aku hanya meringis, sedang Mas Gilang kulirik sedang menggaruk tengkuknya. Kutebak dia juga sama-sama bingung harus menangapi pernyataan mama barusan seperti apa.
"Yuk."
"Ayo kemana?" kedua alisnya mengerut bingung ketika aku mengajaknya untuk keluar.
"Katanya mau ngobrol?" balasku sambil berjalan ke arah mama yang masih diam mendengarkan pembicaraan diantara kami.
"Emang mau ngobrol dimana?" Nah loh, sekarang gantian aku yang mengerutkan alis karena bingung. "Disini aja nggak boleh ya?" Lanjutnya yang membuatku berfikir seketika.
Kudengar mama di sebelahku berusaha menahan ketawa. Aku melirik ke arahnya, lalu kembali melirik Mas Gilang yang lagi-lagi menggaruk tengkuknya salah tingkah. Dan entah mengapa aku justru terfokus pada gesturnya yang benar-benar membuatnya terlihat lebih keren dari biasanya.
"Eh, bukan nggak boleh sih. Cuman..." Aku menghentikan perkataanku karena sungguh aku tidak tahu ingin mengatakan apa untuk selanjutnya. Otakku tiba-tiba blank dan tidak bisa memikirkan apapun, even alasan kenapa aku malah justru mengajakknya untuk mengobrol di luar.
Tiba-tiba mama tertawa diantara kecanggungan kami. Kontan saja aku dan Mas Gilang sama-sama mengalihkan pandangan untuk memandang beliau.
"Kalian lucu banget sih," Akhirnya mama bersuara diantara kebingungan kami. "Yang satu pengen diajak keluar, yang satu ngga pekanya udah nggak ketulungan.."
Mama menarikku untuk duduk disebelahnya. Wajahku pasti sekarang sudah melongo lebar, karena baru sadar bahwa yang aku persepsikan dengan kata 'mau ngobrol-ngobrol' benar-benar berbeda antara aku dan Mas Gilang.
Aku berfikir bahwa acara ngobrol ini berarti bahwa dia ingin mengajakku keluar, sedangkan dari sisi Mas Gilang sepertinya mendefinisikannya dengan benar-benar mengobrol di ruang tamu keluargaku. Astaga... Malunya aku!
Lagi-lagi aku dan Mas Gilang masih sama-sama diam. Mungkin juga karena sama-sama baru sadar bahwa tingkah laku kami barusan terlihat konyol di hadapan mama, atau memang kami sama-sama tidak tahu harus berkata apa.
Untunglah, mama segera berdiri dan berpamitan untuk melihat brownis kami yang katanya sudah matang. Tapi aku tahu pasti, bahwa sebenarnya beliau sedang membantu kami untuk keluar dari rasa malu yang mendera karena adanya perbedaan persepsi.
Thanks, mah... ucapku dalam hati
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Point Out
ChickLit"Kalo gue nggak salah inget, lo udah ada cewek kan pas pertama kali kita ketemu?" "Baru putus kemaren, " Jelasnya tanpa ku minta "Wow. lancar banget ya ngomongnya." Lagi-lagi aku berdecak kagum mendengar ucapannya. Dia benar-benar manusia langka ya...