Nabila 30 • Yang Belum Selesai

4.1K 586 7
                                    

"Sori, Mas. Aku tetep ngga bisa." Mati-matian aku mencoba mengatakannya  agar tidak menyakiti perasaan lelaki yang duduk didepanku.

Kedua tanganku meremas ujung samping bajuku, menyalurkan kekuatan untuk meluruskan apa yang selama ini belum selesai diantara kami. "Baik dulu atau sekarang, perasaan sayang aku ke Mas nggak lebih dari rasa sayang aku sama Mas Panca." Aku menarik napas lega setelah berhasil mengatakan isi hatiku yang sebenarnya.

"Apa nggak ada kesempatan kedua buat Mas, Na?"

Hatiku meringis mendengar penuturannya. Aku tau dengan pasti jika Mas Leo benar-benar tulus menyayangiku, baik dulu atau pun sekarang. Sayangnya, dia selalu saja datang terlambat bahkan untuk yang kedua kalinya.

Jika dulu dia datang ketika Fian masih menjadi pemilik hatiku, sekarang juga kedatangannya tak jauh berbeda dari itu. Aku tidak yakin dengan ini, tapi aku juga tidak mengelak jika sepertinya Mas Gilang sudah punya tempat tersendiri di dalam sana.

"Nggak ada, Mas. Aku nggak mau ngebohongin hati aku sendiri, karena nantinya justru akan menyakiti kita berdua pada akhirnya."

Aku memandangi wajah Mas Leo dengan pikiran yang berkelana. Lelaki di depanku ini adalah seorang lelaki yang cukup tampan. Ralat, mungkin bisa dikategorikan sangat. Dengan kulit putih dan lesung pipinya ketika tertawa, dia bahkan bisa menjerat setiap wanita yang melihatnya. Apalagi dengan pendidikannya itu, harusnya tidak sulit bagiku untuk jatuh cinta kepadanya. Lalu kenapa hatiku tidak pernah berdebar saat bersamanya? Mungkin karena aku sudah terlanjur menganggapnya seperti Mas Panca. Jadi mau bagaimana pun interaksi kami, aku hanya bisa memberikannya rasa sayang seperti saudara.

"Sekali lagi maaf, Mas." Aku mendorong kursiku ke belakang, lalu beranjak berdiri dan berpamitan kepadanya untuk pulang lebih dulu.

"Aku duluan, Mas. Semoga hubungan kita tetep baik kaya dulu lagi. Mas Leo bakal selalu punya tempat tersendiri di hati aku. Dan semoga juga, Mas Leo segera ketemu sama gadis yang baik, yang lebih dari aku, dan tentunya mencintai Mas dengan sepenuh hati. Bill on me, ya."

Sebelum Mas Leo menjawabnya, kembali aku berucap. "Please, Mas. Sebagai ucapan terimakasih aku buat ajakan makan siangnya kali ini. Aku pamit ya? Wassalamu'alaikum." Aku berbalik dan menuju kasir, tanpa menoleh kembali ke arah belakang.

Selamat tinggal kisah masa lalu, saatnya untuk kembali menulis kisah di lembar yang baru.

***

"Ren, minggu pertama bulan depan lo ada acara nggak?" Kataku sambil menjepit ponsel diantara lengan kanan atas dan pipi. Aku  sedang berusaha membuka tutup botol softdrink sembari menelepon sahabatku itu, jadi agak sedikit repot untuk membuka tutup botol yang baru ku ambil dari kulkas.

"Wait Na, gue liat jadwal dulu." Setelah ucapan perempuan di seberang sana, terdengar suara kasak kusuk orang mencari sesuatu, lalu berakhir dengan suara lembaran-lembaran buku yang sedang di bolak-balik.

"Gimana, Ren?"

"Yang senennya tanggal merah itu ya, Na?" Aku mengangguk mengiyakan.

"Bener nggak, Na? Ya elah malah diem aja." Ucap Rena yang seketika menyadarkanku jika perempuan diujung sana tidak melihat anggukanku barusan.

"Iya, Ren. Sori, gue tadi malah ngangguk-angguk. Lupa kalo kita lagi telponan..."

Kudengar Rena mendengus. "Ck. Kebiasaan banget deh lo..."

"Aman nih gue. Nggak ada kegiatan penting di hari itu. Kenapa?"

Sekarang gantian aku yang menghempuskan napas. "Gue mau ngajakin lo naik, bisa?"

"Naik apa? Motor? Gue tiap hari naik motor kok udah." Rena dan ke absurdannya kembali lagi.

"Bukan dodol..." Tidak sadar jika aku sudah mulai kesal sama dia. "Naik gunung bestie," Seruku dengan nada merendah dan penuh penekanan di bagian belakang.

"Eh." Seketika Rena terdiam setelah mengucapkan satu kata itu. "Ini naik gunung beneran, Na?"

"Hm."

"Astaga dragon. Lo nggak kesambet kan, Na? "

"Ya enggak lah beb, gue sehat mental dan fisik nih."

"Terus kenapa bisa serandom ini tiba-tiba ngajakin gue ndaki?"

"Ya pengen aja..."

"Jangan boongin gue, Na. Tau gue lo luar dalem. Dan nggak ada sejarahnya orang mager kaya lo tiba-tiba ada inisiatif naik gunung."

Aku masih diam mendengarkan ocehan Rena barusan. "Jadi kenapa?" Lanjut Rena setelah tak kunjung juga mendapatkan jawabanku.

"Di ajak Mas Gilang." Dan seketika Rena memekik tidak karuan.

"Gila gila. Udah sejauh apa hubungan kalian berdua? Kenapa diem-diem mulu lo nggak cerita ama gue?" Rena menuntut penjelasan dari satu kalimatku barusan.

Aku mengambil ponselku yang tadinya aku letakkan di atas meja ketika aku duduk dan menikmati minum, lalu meraih botol minum ku di tangan kiri dan beranjak menaiki tangga untuk kembali ke kamar tercinta. "We just a friend, Ren."

"What? Lo kejebak friendzone?" Wanita keturunan Jawa Sunda itu sudah mulai bermain dengan asumsi-asumsi yang ada di kepalanya.

Tanpa sadar aku memutarkan bola mata."Kagak, Ren. Dulu doi pernah bilang sih tertarik sama gue, tapi nggak gue tanggepin serius gitu. Jadi gue juga nggak tau hubungan kita kali ini di sebut apa..." Jelasku sembari membuka pintu kamar tidurku.

Belum juga aku memutuskan masuk, suara Aldo yang baru keluar dari kamarku menginterupsi. "Mbak, lo beneran mau kan ya buat diajakin naik besok?"

Aku menoleh dan mendapati Aldo yang sudah rapi dengan penampilan kasual nya. "Bentar, Ren. Ada Aldo ini." Aku menjelaskan keadaanku pada Rena agar dia mau menunggu sebentar.

"Mbak belum tau, Do. Masih nunggu keputusan Rena. Terus belum izin mama juga.."

Aldo terlihat mengangguk-angguk paham. "Soal mama biar entar jadi urusan gue sama Mas Panca, Mbak. Mbak Na mastiin Mbak Rena aja buat ikutan."

Aku mengangkat ibu jariku untuk merespon perkataannya. "Lagi usaha ini..."

Aldo tersenyum, lalu sebelum beranjak pergi entah kemana itu, dia menyempatkan untuk salim dan mengatakan sesuatu yang tidak terduga dengan Rena. "Mbak, ikutan gih! Mbak Na udah semangat banget naik nih sama Mas Gilang."

Gila! Aldo benar-benar gila. Aku langsung menjauhkan ponselku dari jangkauannya. Semoga Rena tidak mendengar ucapan bocil yang setelah membuat ulah langsung berlari kabur itu.

Tapi sepertinya harapan tinggalah harapan, karena sesaat setelah aku menempatkan kembali ponselku ke telinga, perempuan di seberang telepon barujar dengan nada menggodanya. "Lo suka Mas Gilang ya, Na?"

Sial!

Point OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang