Part 39

7K 433 25
                                    

Rena mendesah berat, menumpuk kepalanya di atas meja yang terdapat di kamar tamu, di rumah bibi dan pamannya di Amerika. Rena stres. Ia ingin pulang ke Deva. Namun untuk mengutarakan pada ayahnya ia tak kuasa.

Apalagi, kata-kata menohok dari Bibinya membuatnya enggan keluar maupun bergerak. Getaran ponsel di sampingnya tak berhenti, hanya dibiarkan begitu saja tanpa mengangkatnya. Ia tahu, Deva pasti yang menghubunginya. Rena ingin mengangkatnya, namun ia takut jika ia akan mengadu pada suaminya berakhir pertengkaran hebat sampai membuat tali silaturahmi antara sang suami dan Ayahnya terputus.

Sudah jam makan malam, Rena tak kunjung keluar dari kamarnya. Hal tersebut membuat Pramudi yang duduk di meja makan bersama saudara dan iparnya bertanya-tanya dalam hati.

"Rena belum keluar?" tanya pria itu.

Saudara perempuannya, Aminah, hanya mengangkat bahu tak acuh sembari memakan hidangan. Sedangkan di sampingnya, ipar Pramudi menggelengkan kepalanya.

"Kakak bisa ke atas. Kasian Rena, belum makan dari tadi," ujar ipar Pramudi, Romeo.

"Rena ponakan kamu, Mah. Baik baik lah, sama kakak juga," lanjut Romeo sedikit merendahkan suaranya di samping telinga Aminah.

Pramudi mengangguk,
mengucap terimakasih sebelum bangkit dari kursi.
Pramudi pun naik ke atas lantai, tempat kamar putrinya berada.

Tok tok tok

Pintu kamar diketuk oleh Pramudi. Pria itu sebenarnya tidak tega melihat sang putri berdiam diri, murung dalam kamar. Namun jika tidak begini, anaknya dan menantunya itu tidak ada jera. Meskipun sebenarnya di sudut hatinya tak juga menginginkan hal ini.

"Rena, Nak ..." Pramudi memanggil nama sang anak beberapa kali, tak juga mendapat respon. Pramudi menduga jika anaknya mungkin saja tidur, mengingat perjalanan mereka dari kota menuju tempat terpencil di Amerika. Namun jika tidur lebih 5 jam, rasa-rasanya Pramudi tak pernah mendapati Rena tidur selama itu kecuali tidur malam.

"Rena ..." Belum dapat respon apa-apa. Rena belum mau menyahut walaupun dia mendengar panggilan Ayahnya di luar.

Ibu hamil itu masih terisak di atas kuris yang dia duduki saat ini. Namun karena tidak sampai hati lantaran sang Ayah terus memanggil, Rena pun bangkit, untuk membasuh wajahnya agar terlihat segar dan mata sembabnya bisa berkurang.

Setelah dirasa penampilannya sudah baik, Rena baru membuka pintu. Baru beberapa detik melihat sang ayah, Rena kembali menangis. Ia tak tahan. Segera dia peluk Ayahnya erat.

"Mau pulang," pintanya dengan suara serak. Air matanya terus menetes begitu saja.

Pramudi mau tak mau membalas pelukan sang anak dengan mengusap sayang kepala putrinya. "Nanti. Kita pulang nanti. Gak mau di sini, kan?"

Rena mengangguk cepat. "Gak mau."

"Yasudah kita ke bawah dulu. Kamu harus makan dulu kalo mau pulang," titah Pramudi seraya menghapus air mata Putrinya. Pria paruh baya itu mengusap kepala Rena lembut.

"Di bawah ada Tante?" Tanya  Rena menengok ke bawah, tepat ruang makan bersebrangan dengan tangga ke lantai dua rumah ini.

"Ada. Kamu gak usah khawatir, Papah di sini."

Rena sesenggukan lagi.

IGNORANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang