Part 13

9.6K 687 30
                                    


Vote dulu ya moms...

Typo , tandai

____

Di dalam kamar, Rena merebahkan diri selagi berfikir, tentang ia kedepannya. Hm, apa dia perlu menghubungi si pelaku utama?

Tidak ada pilihan lain. Jika nanti memberitahu cowok yang menanam benih di rahimnya, bisa-bisa cowok itu antara bertanggung jawab atau menyuruh-nyuruh dia menggugurkan kandungannya.

Hmm ... Kemungkinan pertama dan kedua menurutnya tidak ada yang baik. Maunya Rena itu tak ada pertanggungjawaban tak ada gugur guguran.

Tanpa berlama-lama lagi, Rena mengambil ponselnya lalu mencari nomor yang telah ditanda olehnya. Beberapa detik ia memandangi sejenak nama itu, lalu tanpa berpikir ulang cewek itu pun menekannya.

"Halo? ini siapa ya?"

"Em, ini gue. Rena," jawabnya pelan.

Tidak ada sahutan sejenak.

"Dev?" panggil Rena. Sebab, Deva—cowok yang diteleponnya bungkam entah dia masih di tempat atau sudah lain tempat.

"Ah iya- Iya Ren, kenapa?" Akhirnya ada balasan dari cowok itu. Dari suaranya, Rena tebak Deva sedang gugup.

"Lo udah tau 'kan? Kalo gue hamil?" Katanya tanpa basa-basi. Dia sebenarnya agak deg- degan juga berbicara dengan laki- laki, apalagi yang sedang diteleponnya ini bisa jadi masa depan nya atau hanya masa sekarang nya saja.

"Eh? Ah ... I-iya."

"Jadi Lo mau apa? Lo suruh gue nelpon Lo kalo gue hamil 'kan? Jadi sekarang gue nelpon Lo, Gue gak mau basa basi, jadi gue mau sekarang aja. Terserah Lo mau apa." Dia ingin masalah ini cepat berlalu, agar depresi nya tidak kumat lagi.

"Emm ... "

Di sebrang sana, Deva sedikit bimbang akan mengutarakan apa yang menjadi keputusannya sekarang ini.

Usai pertemuan antara dirinya dan keluarga cewek yang sempat ditemani nya akan tunangan, Deva jadi meragu. Antara memilih yang mana. Rena dan anak-anaknya tidak mungkin dia abaikan, namun, desakan dari orang tua angkatnya yang memberinya hidup juga penting. Lalu apa yang harus dia perbuat sebagai lelaki jantan? Asek!

Hmm ... Haruskah? Dia bertanggungjawab saja? Atau tidak usah? Sepertinya opsi kedua bisa dipertimbangkan dengan sedikit benefit yang menguntungkan korban. Ya gak, Dev?

"Gini ... Lo ... Maunya apa?" tanya nya lebih ke memberi pilihan. Deva memukul pelan mulutnya yang impuls sekali.

"Ya terserah elo, lah. But, kalo Lo mau nikah sama gue, gue jawab No! Well, Lo pasti juga gak mau nikah muda. Jadi hmm ... Rawat berdua tanpa nikah bagus, gak?"

Rahang Deva terbuka lebar. Ya terserah? Helo! Terserah katanya? Merawat bayi mereka tanpa menikah?

Nih cewek sumpah aneh banget. Santai banget cuy, kayak di pantai.

Deva sudah berjaga-jaga bila si korban meminta pertanggungjawaban karena menanam sesuatu di tempat yang bisa jadi benar dan juga bisa jadi salah. Errrr ... Lebay ya.

Namun, si korban menolak untuk pertanggungjawabin. Hm ... Deva harus bagaimana?

"Maksud Lo gimana-gimana? Lo sama gue rawat anak kandung sendiri tanpa nikah? Hell Lo mau jadi bahan gosip orang? Gue sih fine fine aja karena gue cowok jadi orang mana tau itu anak gue."

Deva memegang dadanya terkejut karena lancang berbicara kurang ajar. Ya Tuhan! Mulutnya ini sungguh tak berakhlak. Bisanya dia tidak mengakui anaknya nanti apabila sudah lahir? Istighfar, Devaaa.

IGNORANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang