Part 14

9.2K 673 50
                                    

Vote dulu sayang

___
Reta marah.

Rena jadi bingung, Reta itu kalau ngambek dinginnya ngalahin cowok-cowok wattpad, apalagi jika diajak berbicara.

Cewek yang lagi mengelus perutnya itu, berjalan ke sana kemari sembari menimbang. Apa yang mesti dia lakukan? Agar sang sahabat mau memaafkannya.

Kesalahan mereka berdua memang tak bisa ditolerir. Ya, Rena telah memberitahu pada Reta tentang perbincangan dia dan Deva. Yang katanya hidup tanpa nikah dan hanya merawat anak-anak mereka ketika lahir.

Reta yang mendengarnya saja tentu langsung geram. Bisanya Rena dan Deva sebagai orang tua kandung, tega?

Dengan keberanian, Rena menyusul sahabatnya itu yang sedang di balkon Penthouse. Tempat biasa mereka merenung, atau bergosip ria.

"Ret?" panggilnya pelan seraya menyentuh pundak Reta. Posisinya, Reta tengah membelakanginya, sedang menatap kota di malam hari dari atas.

"Reta? Lo masih marah?"

Iyalah. Dalam hati Rena merutuki pertanyaan bodohnya. Jelas dia tahu, Reta belum memaafkan mereka. Reta wajar marah karena ketidakpeduliannya pada anak mereka. Maka dari itu, Rena mengajak cowok yang bersangkutan untuk merundingkan hal tersebut. Namun, Reta tetap marah sekaligus sedih karena memang mereka salah.

Rena menarik tangannya kembali."Gue minta maaf, Ret," sesalnya yang juga berdiri di dekat pembatas memandang pemandangan dari atas.

"Lo jangan minta maaf sama gue." Reta mendengus tak acuh. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan.

"Iya. Gue salah. Gue sama Deva salah. Kita berdua egois sama anak kita sendiri." Rena menunduk seraya menatap perut buncitnya itu. Tangannya terangkat mengelus kedua anaknya yang masih dilindungi perutnya.

Reta menoleh sebentar ke arah Rena kemudian mendecih sinis. "Gue heran. Di otak Lo berdua itu apa sih? Ini kesalahan Lo berdua meskipun kalian ga sengaja. Tapi apa? Kalian itu mau bebas terus. Lupa sama keadaan yang maunya kalian jalanin, kalian egois! Anak kalian korban, bukan Lo atau pun Deva," menunjuk wajah Rena kemudian memalingkan wajahnya. Tak terasa matanya pun mulai memanas. Ia sedih dan iba pada anak yang tidak tahu apa-apa. Anak korban dari orang tuanya. Anak yang sama sekali belum lahir, yang tak diinginkan kah? Sampai mereka tak bisa mengorbankan sedikit saja, hanya status, agar anak sahabatnya itu punya keluarga utuh.

Rena menunduk, rasa bersalahnya semakin besar. Ini memang salah mereka. Salahnya juga, tidak meminta Deva bertanggungjawab saja. Dia sama sekali tidak memikirkan anak-anaknya.

"Hiks g-gue emang salah. M-maaf Ret."

"Lo jangan minta maaf ke gue! Minta maaf sama anak Lo kalo Lo emang sayang sama mereka." Reta pun sama. Ia juga menangis, kasihan pada bayi-bayi yang masih belum lahir itu. Tidakkah Rena mengerti akan perasaan anaknya itu ketika lahir dan besar nanti? Apa kata orang, apa kata temannya nanti? Bisanya anak memiliki orang tua namun tak memiliki status. Kuatkah anaknya nanti menerima cemoohan demi cemoohan yang pasti akan mereka dengar? Tentunya mental anak-anak belia itu terganggu.

Rena mengusap air matanya, menatap dari atas perutnya. "Maafin mama, ya," katanya dalam hati.

Penyesalannya tak berarti apa-apa. Tak ada rasa simpati maupun empati pada kedua anaknya itu. Bahkan, dia tidak terlalu antusias ketika tahu benar ada kehidupan lain di dalam perutnya.

IGNORANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang