Part 10

10.7K 813 34
                                    

Vote

___

"Gue yakin, pasti Lo sama Deva 'itu-itu' nya banyak kali. Gak mungkin satu kali, 'kan?!" tanya Reta menginterogasi. Dia menatap tajam ke arah Rena yang memandangnya dengan tampang polosnya.

Posisi mereka sekarang, lagi di kasur. Tepatnya hanya Rena yang baring setelah pulang dari rumah sakit tadi. Sebab, cewek yang dinyatakan hamil itu lemas tak berdaya entah karena apa.


Sedangkan yang ditanya menggeleng tak tahu. "Mungkin."

Rena menunduk melihat perutnya yang dia tak sadari telah buncit selama ini. Dia pikir, perutnya membesar karena dia jarang olahraga dan sering memakan cemilan. Eh, tak disangka tak diduga, ternyata ada dua kehidupan di sana.

"Gue hamil, Ret. Entah sekarang gue mesti mau ngapain?" Rena mendongak melihat Reta yang tampak murung juga. Padahal sebelumnya, cewek itu sangat gembira di rumah sakit tadi. Lalu mengapa berubah sendu?

Itu karena Reta baru memikirkannya sekarang. Iya juga. Rena hamil, dan dia senang. Hanya saja, temannya hamil di waktu yang tidak tepat. Bukan, bukan tidak terima atas apa yang diberi Tuhan, masalahnya, Rena masih ... Muda. Dan Reta khawatir, bagaimana nasib anak-anak sahabatnya itu nanti. Rena itu jika sifat cueknya kembali, maka ... Ah sudahlah.

Reta menghela napasnya kasar. "Untung Lo kaya, Ren. Mungkin kalo papah Lo orang gak mampu, Lo akan menderita seumur hidup."

"Gue tau. Dan gue bersyukur. Cuma
masalahnya, apa gue bisa jadi ibu? Gue sama sekali gak siap dengan ini, Ret."

"Siap gak siap Lo mesti terima konsekuensinya. Kalo emang Lo belum bisa jadi ibu, suatu saat nanti Lo pasti bisa. Kita perempuan, dan pasti juga jadi ibu."

Rena memejamkan matanya. "Hmm ... Terus Deva mesti tau ya, Ret?"

Reta mengangguk tegas. "Harus. Lo gak boleh nanggung ini sendirian. Kalian yang berbuat kalian juga yang tanggungjawab. Bukan cuma satu orang."

"Tapi ... Apa dia percaya? Udah hampir mau empat bulan baru gue kabarin dia kalo gue hamil."

"Ya harus terima lah, Ren."

Rena masih setia menutup matanya. Saat kantuk telah menyerang dirinya, ia segera memberitahukan pada Reta bahwa dia ingin tidur sejenak.

"Tidur yang nyenyak, ya, Ren. Masalah ini gak usah terlalu Lo pikirin. Percaya aja sama Tuhan."

Rena membuka matanya dan mengangguk sekilas.

"Hmm ... Entar kalo lahir kalian mau ngikut sama siapa, ya? Gue atau bapak Lo?" gumam Rena usai punggung sahabatnya tak lagi terlihat.

"Kalo semisalnya gue gak bisa rawat kalian, mau gak? Ke panti asuhan aja?"

"Atau ... "

"Gugurin aja, ya?"

BRAAKKK!
____

Bugh

Deva meninju tembok kamarnya. Begitu selesai, rasa amarahnya perlahan surut. Ia baru lulus dan Ibunya selalu mendorong dirinya agar secepatnya melamar cewek yang selama ini ada di sisinya. Tepatnya di sisi sang Ibu.

Deva merasa bimbang sekaligus kesal. Tapi dia tak tahu ingin melampiaskannya pada apa. Bahkan sekarang ini cowok itu tak tahu mau berbuat apa. Sampai sekarang Rena belum menghubunginya.

Kabar kehamilan cewek dengan iris mata coklat hazel itu merupakan hal yang selalu ditunggu-tunggu olehnya. Namun apalah daya, Rena belum ah ... Atau mungkin tidak akan memberinya kabar karena cewek itu tidak hamil.

IGNORANT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang