13. He Likes My Bestie

40 5 27
                                    


Teruntuk Diary-ku yang selalu menjaga setiap momen dalam hidupku, hari ini tolong ingat momen ini.

Siang di sekolah ketika aku tengah mendengarkan arahan dari Yunan (Ketua OSIS), aku selalu memperhatikan Langit. Kamu tahu apa yang terjadi setelah itu?

Hei, aku digandeng oleh cowok tampan itu menuju kantin. Dia tidak hanya mengajakku makan siang, tetapi juga berperan seperti teman lagi. Sama seperti waktu itu--saat aku menjadi temannya seharian.

Kami mengobrol banyak hal sambil menikmati semangkuk soto ayam. Rasanya mendebarkan, tapi sangat.... menyenangkan.

Selesai membagi cerita hari ini dengan buku diary, aku tersenyum menutupnya. Kini aku sudah bersiap untuk belajar, mengulas materi yang akan diajarkan besok pagi.

Di samping tempat pensilku, aku melihat jepit rambut pemberian Langit. Warnanya seolah berkedip memaksaku untuk meraih benda kecil itu. Kuperhatikan lamat-lamat seraya mengenang hari itu.

Ceklek!

"Secangkir susu hangat pesanan anak Mama yang cantik sudah siap."

Mama meletakkan segelas susu di atas meja belajarku. Aku menoleh dan mengatakan terima kasih.

"Belajarnya jangan malem-malem sayang, istirahat ya."

"Iya, Ma. Aku cuma mau baca materi buat besok aja kok, nggak ada PR."

Mama mengusak rambut panjangku. "Ya udah--eh, rambut kamu panjang banget. Nggak mau dipotong aja?"

"Nggak mau, Mama. Aku suka rambutku panjang, mirip Mama pas muda dulu hehe."

"Iya? Mama jadi inget kata-kata Papa dulu, katanya Mama cantik banget dulu rambutnya panjang." ujar Mama.

"Oh iya, aku inget Mama mau ngomongin sesuatu soal Pipip deh. Sekarang aja gimana, Ma?"

Mama terdiam sesaat, seolah perlu berfikir lama hanya untuk mengatakan sesuatu. Aku semakin penasaran, apakah itu hal yang serius?

"Mama mau bilang sama kamu kalau Rafif sebenarnya--"

Drrt....drrt....

Suara dering ponselku memotong kalinat Mama. Aku melirik layarnya, ternyata panggilan masuk dari Naura.

"Sebentar ya Ma."

Mama tersenyum lagi, "Sudah nanti saja, Mama nggak mau ganggu kamu malem-malem. Kamu istirahat ya nanti kalau udah selesai belajarnya. Nite, sayang."

Mama pergi dari dalam kamarku. Beliau melupakan lagi rencananya memberitahuku sesuatu tentang Rafif.

Aku menggeser ikon hijau di layar ponsel dan meletakkannya di telinga kanan. "Halo Ra, kenapa?"

"Amel... PC Renjun gue yang era riding ada sama lo nggak? siapa tau kebawa gitu?"

Keningku berkerut, bingung. "PC? komputer? laptop? nggak tuh--"

"Ih bukan!" pekiknya keras. Ya ampun, lama-lama telingaku bisa tuli seketika ini. "PC itu photo card. Bentuknya kecil gitu loh, yang pernah gue tunjukin sama lo, yang gambarnya Renjun."

Sebentar, aku perlu mengingat-ingat beberapa detik. "Oh.. inget, yang lo kata si ganteng itu, kan?"

"Nah iya!"

"Bentar, gue periksa."

Aku berjalan menunduk untuk meraih tas yang kuletakkan di bawah meja belajar. Membawanya menuju tempat tidur, di sana kuubrak-abrik isinya. Saat sedang menggoyang-goyangkan buku catatan Tata boga yang isinya resep makanan semua itu, terjatuh sebuah benda pipih. Aku segera mengambil dan melihatnya.

Our Time [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang