Mengerjakan tugas sekaligus membaca materi untuk besok sudah selesai. Kini aku sibuk mengepak pakaian olahraga yang akan kukenakan besok. Ngomong-ngomong soal pakaian olahraga, mendadak aku jadi teringat soal deklarasi cintaku pada Langit. Berujung patah hati yang berkepanjangan.Segera kugelengkan kepala demi mengusir seluruh ingatan tentang hari itu. Kembali mengepak isi tasku, setelahnya beranjak menaiki tempat tidur.
Sebelum benar-benar terlelap, pikiranku disibukkan dengan rencana esok hari. Untuk Langit, apa yang harus aku berikan ya?
Ponselku berdering tiba-tiba. Aku segera menyambarnya dari atas meja nakas di sebelah tempat tidur. Panggilan dari Rafif? ada apa dia menghubungi di jam sembilan malam?
"Heh, kenapa lo? mau diajarin soal Matematika?" aku menyerobot tanpa salam apapun.
Tidak ada jawaban apa-apa dari sebrang sana. Sepertinya Rafif terdiam cukup lama. Tapi aku yakin, aku mendengar suara isak tangis.
Hiks.
"Pip, lo nangis?" tanyaku lembut.
Tapi semuanya di luar dugaanku, atau Rafif memang pandai menyembunyikan sesuatu, dia menjawab dengan ceria selanjutnya.
"Mana ada gue nangis? lagi flu nih gue, mendadak."
"Kok bisa?"
"Gue di luar, di taman rumah lo. Keluar dong, ajarin gue... ajarin gue Matematika."
Aku merubah posisi menjadi duduk. Melihat jam dinding di atas meja belajar, yang menunjukkan angka sembilan.
"Mel... kalau nggak bisa, ngga papa kok."
"Bisa kok, bisa banget. Tunggu bentar ya."
"Iya."
Kusibak selimut, segera menuruni tempat tidur dengan langkah cepat. Saat melewati ruang tengah, aku melihat Papa dan Mama yang masih terjaga, mereka asik menonton sinetron di TV.
"Mau apa sayang, kok belum tidur?" tanya Papa yang pertama kali melihatku.
Mama menoleh padaku. "Laper lagi? mau dibuatin susu?"
"Eh, nggak kok Ma. Aku mau izin ketemu Pipip di luar. Dia minta diajarin Matematika, boleh Ma, Pa?"
Papa mengangguk sambil tersenyum. Mama juga melakukan hal yang sama.
"Jangan malem-malem, nanti kamu kesiangan besoknya."
"Siap, Ma!"
Entah apa yang terjadi pada Rafif. Pokoknya malam ini spekulasiku tentang perasaannya yang sedang memburuk masih bertahan di kepalaku. Mendengar isakan kecilnya yang samar lewat sambungan telepon tadi, aku merasa itu bukan karena sekedar flu.
Kakiku melangkah lebih dekat ke ayunan di depan rumahku. Aku ingat sekali ayunan ini ada sejak aku berusia lima tahun, sebagai hadiah ulang tahun dari Papa. Ayunan itu berbentuk kursi panjang, berwarna silver. Beberapa bagian catnya mengelupas termakan usia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Time [Completed]
Teen Fiction[Daily Clover Marathon 2021] Tentang Rafif Dimansyah Fajaro, sahabatku, cinta pertamaku, yang belum juga kembali. Dia bilang dia tidak pernah pergi, dia ada bersama tetes hujan, embusan angin, dan terpaan cahaya senja. Aku belum menemukannya, bagaim...