Epilogue

98 7 18
                                        


Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada menunggu seseorang. Berkali-kali aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangaku, beriringan dengan dua gelang persahabatan. Terhitung lima kali sembari melihat lalu lalang orang maupun kendaraan memadati jalanan kota.

"Yunan sialan, udah lebih dari 30 menit nih." gerutuku.

Kakiku bergerak tidak nyaman, gelisah menanti Yunan. Bisa-bisanya dia membuat aku seperti orang gila, sendirian menunggunya di taman kota.

Angin terus menggerak-gerakkan rambutku yang hari ini sengaja aku gerai demi berpenampilan anggun, tak terlupakan jepit rambut istimewa pemberian Rafif tersemat di kepalaku. Tetapi kalau tahu akan menunggu lama seperti ini lebih baik aku mengikatnya saja.

Baru saja aku hendak mengambil ikat rambut di dalam tas selempangku, sepasang sepatu olahraga berdiri tidak jauh dari jarakku duduk. Seseorang rupanya tengah berjalan menghampiriku.

"Heh Yunan! dari mana aja sih lo??!" Aku berdiri, menyentak kedua kaki ke tanah, lalu mendongak. Kupikir dia adalah Yunan yang sejak tadi kutunggu.

Ternyata orang lain. Setelah empat tahun berlalu, dia, yang kucari berdiri di hadapanku kini.

Wajahnya masih sama, hidungnya yang mancung, kedua matanya yang akan membentuk sabit ketika tersenyum, dan suara lembutnya menyapa merdu gendang telingaku.

"Akhirnya, ketemu juga."

Dia mengulurkan satu tangannya padaku, mengajak berjabat tangan. "Hai Amel, apa kabar?"

"Pip--" sial, aku tidak bisa menyebut namanya dengan lengkap.

Bibirku kembali rapat sebab terlalu sungkan mengecap namanya. Inginnya marah, membentak tidak terima karena telah ditinggalkan tanpa satu patah kata pun. Namun rindu yang bersarang di dalam hatiku terus menyerobot minta diperjuangkan. Itulah mengapa orang-orang sering menyebut keadaan seperti ini adalah ketika hati dan logika tidak sinkron untuk dipadukan.

"Maaf, terima kasih, dan boleh aku bilang yang lain?" ujarnya meminta persetujuan.

Aku mengangguk pelan karena memang tidak ada yang bisa aku lakukan selain fokus menatap wajahnya. Pun meminta sejuta penjelasan agar semuanya pantas disebut akhir.

"Ada banyak yang ingin kuceritakan, tapi ada satu kata yang lebih pantas aku utarakan dari semua itu, Mel--" Laki-laki itu menunduk, tidak ingin aku melihat kedua matanya yang bergumul air mata. "Aku sangat merindukanmu, Mel. Maaf sudah pergi sangat lama."

"Tidak apa-apa, yang penting kamu tau cara untuk kembali padaku, Pipip."

Dia mendongak, menampilkan kedua pipinya yang telah dialiri air mata. Aku maju beberapa langkah dan bersiap memeluknya.

"Aku cinta kamu, Mel."

Rafif kembali. Dia merengkuh tubuhku, menangis sambil merapalkan kata cinta berulang kali.

Aku tidak tahu ini semua adalah mimpi atau benar-benar kenyataan. Tapi jika hanya sebuah mimpi, aku tidak ingin terbangun. Aku ingin seperti ini untuk waktu yang lama.

Tuhan... terima kasih sudah membawa dia kembali padaku.

























 terima kasih sudah membawa dia kembali padaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*
*
*
*
*

Begitulah ya hihi... silahkan simpulin aja gimana enaknya muehehehe..

Aku cuma bisa nulis sampai sini, tidak ada niatan mau bikin bonus chapter juga, sebab aku ngga pengin cerita ini panjang lebar kek sinetron wkwkw

Terima kasih lagi ya, jika berkenan boleh mengembara ke cerita aku yang lain (khususnya yang suka fanfict hehe)

Tembakan cinta untuk kalian piu piu ❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

🤗🤗🤗

Our Time [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang