[Daily Clover Marathon 2021]
Tentang Rafif Dimansyah Fajaro, sahabatku, cinta pertamaku, yang belum juga kembali. Dia bilang dia tidak pernah pergi, dia ada bersama tetes hujan, embusan angin, dan terpaan cahaya senja. Aku belum menemukannya, bagaim...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍂🍂🍂
Sudah lebih dari delapan menit, dan Langit tidak juga sadarkan diri. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Tubuhku gemetar duduk di sebelah cowok yang kusukai ini. Sudah barang tentu aku gemetaran karena nerves, ditambah pula ketakutan dia tidak akan bisa bangun lagi.
Bibirku setia menggigiti ibu jari sambil terus menatap Langit. Dan menanamkan kalimat di kepalaku bahwa Langit pasti akan bangun. Dia baik-baik saja.
"Yaelah... nggak usah ditungguin. Sana lo balik ke kelas aja."
"Nggak mau, gue mau di sini jagain dia."
Rafif berdecak. Setelah kuamati, Rafif jadi suka berdecak jika aku membicarakan Langit. Sangat tidak peduli dengan hati dan perasaanku. Haruskah aku menghapusnya dari daftar sahabat terbaik?
"Gue nggak bisa bolos pelajaran setelah ini, Mel. Pelajaran Bu Reksa, coy."
"Ya udah sono pergi!" usirku.
"Tapi gue juga nggak mungkin ninggalin lo. Mau lo diterkam macan?"
Benar juga, di luar UKS sudah banyak siswi yang menunggu idola mereka sadar. Jika aku keluar sendiri tanpa Rafif yang melindungiku, bisa-bisa mereka mencakarku.
Naura sudah kusuruh pergi ke kelas, aku memintanya untuk mengizinkanku di UKS. Alasannya karena aku mendadak sakit perut, tentu saja itu bohong.
"Apa yang lo suka dari dia sih, Mel?" tanya Rafif, random sekali.
"Mengutip kata-kata sang pujangga, nggak perlu ada alasan buat suka sama seseorang."
"Sok puitis lo, nggak seru."
"Tapi... yang gue suka dari Langit itu, gue nemuin sesuatu yang cuma ada dalam diri dia."
"Apa?" tanya Rafif. Tatapannya begitu penasaran, sarat akan banyak pertanyaan baru.
Aku menarik napas sejenak, menenangkan perasaan khawatirku. "Langit itu... dia istimewa, dia suka dirinya sendiri, nggak terlalu peduli cibiran orang. Langit itu... spesial, dia bahkan nggak peduli perbedaan yang ada padanya membuat orang-orang benci. Justru sebaliknya kan, dia malah banyak disukai orang, meskipun dengan gamblang dia mengaku bahwa orientasinya berbeda."
"Lo suka banget ya sama si gay ini?"
Kali ini giliranku yang berdecak. Tetapi entah mengapa aku tidak bisa memukul Rafif, dia dan tatapan dalamnya untukku--sesuatu yang tidak bisa aku abaikan. Rafif punya satu cara yang membuatnya terlihat lain. Sesungguhnya, misteri yang belum aku pecahkan. Ingat, sesuatu yang besar itu.
"Suka, gue suka sama Langit. Kalau besar atau kecilnya, entahlah... masih ngambang."