Bibirku berkedut menyaksikan dokter dan para perawat sibuk menangani Rafif di dalam sana. Semakin banyak yang kuperhatikan, maka sebanyak itulah air mataku meluruh.
Aku meremat flower crown di atas kepala dan membawanya dalam genggaman tangan. Benda itu adalah saksi bagaimana aku masih melihat Rafif begitu bahagia beberapa jam yang lalu, kenapa sekarang malah seperti ini?
Langit menarik bahuku untuk menjauh dari pintu ruang UGD. Kami duduk beriringan di kursi tunggu tanpa membicarakan apapun. Aku tengah menangis sesenggukan, sedangkan Langit masih terdiam di tempatnya.
Aku sudah menghubungi Mama dan Papa untuk segera ke rumah sakit, serta meminta mereka untuk mengabari Bang Rafa. Aku sangat butuh mereka, secepat yang kuinginkan.
"Mel... gue minta maaf sebelumnya, tapi gue mohon lo harus tenang." Langit berujar setelah melepaskan jaket bombernya dan ia letakkan di bahuku.
"Gue... gu-gue nggak tau apa-apa, hiks. Seharusnya gue bisa jaga dia, tapi... hiks--Kenapa gue harus tau saat dia tengah kesakitan..."
Aku memberanikan diri menatap wajah Langit, walaupun aku sangat malu harus menangis di hadapannya. "Kenapa, Langit?"
Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya dan perlahan membereskan anak rambut di dahiku yang menempel karena keringat dan air mata.
"Dia sakit apa sih sebenernya? nggak parah kan, Langit?"
Langit menggeleng, "Nggak kok, tenang aja. Lo kan tau dia punya otot gede, masa kalah sama penyakit doang."
"Tapi tadi dia... di-dia--"
"Sssttt... diem, lo cukup dengerin gue aja." ujar Langit memotong kalimatku seraya membawa kedua tanganku di atas pangkuannya.
Menurut adalah hal yang bisa aku lakukan karena tidak bisa melakukan hal lain selain menangisi Rafif. Langit tengah berusaha menenangkan perasaanku, jadi aku memilih diam, menunggu dia membuka suara.
"Gue nggak tau dia sakit apa, yang gue tau cuma satu, dia kuat dan baik-baik aja. Gini Mel, waktu itu gue nggak sengaja lihat ada luka bekas jahitan di perutnya. Lukanya membengkak gitu, Rafif kesakitan. Tapi saat dia ngelihat lo nyamperin dia, sakitnya seolah langsung hilang." Langit menjeda ucapannya kemudian tersenyum tipis. "Rafif punya lo, makanya dia kuat dan baik-baik aja. Jadi lo juga harus kuat, lo nggak boleh sedih terus..."
"Inget ya, ada Rafif yang butuh kekuatan lo. Percaya sama gue, dia kuat dan pasti baik-baik aja."
Akhirnya aku mengangguk. Aku memahami apa yang coba Langit sampaikan lewat cerita itu. Dia mengingatkanku bahwa Rafif selalu berusaha kuat demi diriku. Jadi, aku juga harus kuat demi dia.
"Dia pasti baik-baik aja, ada lo di sisinya." ujar Langit lagi, tetapi kali ini aku melihat dia meluruhkan air mata.
"Sorry, gue keinget masa lalu."
"Masa lalu apa? masa lalu lo sama Rafif?" tebakku.
"Bukan apa-apa kok. Lo udah tenang kan sekarang? mau minum nggak?"
"Nggak usah."
"Butuh yang lain?"
Karena genggaman tangan kami masih terpaut, aku mengguncang kecil tanganku hingga Langit ikut menatapnya.
"Yang gue butuh saat ini cuma lo, makasih Langit udah bantu Rafif."
"Gue bakal lakuin apapun buat bantu dia, jangan khawatir."
Langit menemaniku hingga Mama dan Papa datang. Lalu Kakak manager menyuruh laki-laki itu pergi. Tadinya Langit tidak ingin meninggalkanku, tetapi aku memaksanya untuk pergi. Aku tahu kalau Langit sedang sibuk dengan urusannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Time [Completed]
Teen Fiction[Daily Clover Marathon 2021] Tentang Rafif Dimansyah Fajaro, sahabatku, cinta pertamaku, yang belum juga kembali. Dia bilang dia tidak pernah pergi, dia ada bersama tetes hujan, embusan angin, dan terpaan cahaya senja. Aku belum menemukannya, bagaim...