1. Limited Boy

186 19 24
                                    

Pukul delapan pagi di sekolah.

Suasana di luar gerbang utama nampak sepi, di sisi kiri beberapa meter dari pos satpam hanya berdiri beberapa siswa-siswi yang datang terlambat. Mereka dipaksa mendengarkan petuah dari Bu Reksa--guru BK di sekolahku.

Dari lantai dua kelasku, di balik jendela sisi kanan, aku melihat laki-laki dengan postur tubuh indahnya melangkah santai memasuki gerbang. Bahkan di saat jam sudah mengatakan bahwa dia terlambat. Meski begitu, dia--laki-laki yang sudah lama aku suka itu akan tetap diizinkan masuk.

Rambutnya yang legam tersibak ke belakang ketika Langit dengan gaya berjalan model di red carpet menyapa Bu Reksa. Aku dapat melihat raut wajah iri di antara siswa-siswi lain yang terlambat dan harus mendapatkan hukuman, sementara Langit dengan tenang bisa masuk ke sekolah.

Memang sudah biasa, Langit dikenal oleh seluruh guru, bahkan petugas di kantin. Langit adalah anak dari Ketua Yayasan di sekolahku, selain itu dia adalah seorang model terkenal. Tampan, tinggi, manis--Ah, pokoknya sempurna.

Namun, tidak banyak yang tahu orientasi seksualnya ternyata tidak mencerminkan kesempurnaan fisiknya. Dia gay, Langit suka sesama jenis. Sungguh demi seluruh makhluk di bumi, aku tetap saja menyukainya.

"Mel, minjem HP lo bentar dong." tubuhku diguncang seenaknya oleh Naura.

"Ambil aja di tas." kataku yang mulai risih jika diganggu di saat sedang asik mengamati Langit.

"Ih, mana sih? nggak ada, nggak nemu."

"Cari aja, masa nggak ada?"

Dengan satu sentakan, Naura berhasil membalik tubuhku. Tak sampai di sana, dia bahkan menoyor keningku sebanyak dua kali.

"Ish, penyiksaan lo!"

"Ya lagian siapa suruh sih lo asik sendiri aja? buruan sini HP lo, minjem!"

"Di tas, Naura!"

"Kagak ada, goblok!"

Tanganku ringan saat terangkat untuk memukul bahu Naura. Sama sepertiku yang biasa saja ketika ditoyor olehnya, Naura pun sama. Kami sahabat, dan perlakuan kasar tidak berarti apapun bagi kami. Sebut saja itu sebagai bentuk kasih sayang.

"Makanya kalau cari itu yang bener!" sungutku. Kesal karena Naura berani mengacuhkan kegiatanku melihat Langit. Bisa kutebak, Langit pasti sudah masuk ke gedung sekolah.

Ini aneh, aku ingat memasukkan ponselku di dalam tas. Tepat di dalam buku-buku, tetapi tidak ada. Persisnya, aku tidak menemukan keberadaan benda pipih itu.

"Kagak ada, kan?"

"Ih ini aneh, gue yakin banget bawa HP kok. Duh di mana ya?"

Naura ikut panik dan mencoba mencari ponselku di dalam kolong meja. Dia bahkan merogoh kedua saku seragamku, namun tidak ada apapun di sana kecuali uang saku.

"Yah... ketinggalan kali, Mel."

Bibirku praktis mengerucut. "Yah.. nggak bisa motret Langit deh."

"Bisa." sebuah suara berat tiba-tiba menginterupsi percakapan aku dan Naura.

Tepat di sisi mejaku, Rafif berdiri menjulang sembari mengulurkan ponselku. Mataku berbinar bagaikan melihat uang dengan nominal tak terhingga, lalu dengan cekatan merebut benda pipih itu dari tangan Rafif.

Our Time [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang