15. Abu-Abu

1.6K 293 164
                                    

Happy Reading

-

-

-

3 jam sebelumnya...

Alan memasukkan asal ponsel nya kedalam saku celana nya setelah bersusah payah menghubungi beberapa orang. Tubuhnya bersandar di bilik halte, sesekali mengerang merasakan kepalanya nya yang semakin nyeri. Napasnya terasa mulai sesak. Ditambah lagi ada rasa mual yang semakin menyiksa.

Alan menatap jaket himpunan nya yang sudah ditanggalkan beberapa saat yang lalu dan digulung-gulung. Dia terlihat semakin menunduk, menutup seluruh wajahnya dengan topi nya. Berharap siapapun tidak bisa melihat bagaimana kondisi Alan sekarang. Beberapa kali Alan masih menyeka bibir atas nya. Merasakan sesuatu yang terus mengalir dari hidung nya.

Dengan pasrah, Alan menutup matanya. Berdoa agar siapapun diantara kelima teman nya cepat datang kesana. Setidaknya jangan sampai ada orang lain bertanya apa-apa pada Alan sampai diantara kelima nya ada yang datang.

Tak berselang lama, sayup-sayup Alan mendengar dua derap langkah kaki datang menghampirinya dengan tergesa-gesa. Terbesit satu senyuman tipis di bibir Alan saat melihat sepatu Dio dan Devan saat ini tepat di depan nya. Syukurlah.

Alan mulai mendongak. Dan untungnya hanya ada mereka bertiga disana. Beberapa orang hanya berlalu lalang saja. Dan tepat saat Alan mendongak, Devan dan Dio dibuat langsung tercekat.

"Anjir! Meuni loba pisan!" pekik Devan tertahan. Buru-buru dia mengeluarkan satu kotak tisu dari dalam tas jinjing yang dibawanya. Devan langsung sigap merapatkan dirinya dengan Alan. Menutupi Alan saat laki-laki di depan nya itu mulai menyeka dagu nya dengan tisu. Sesekali Devan mengedarkan pandangan nya was-was, memastikan tidak ada yang melihatnya.

"Minum dulu Lan," kali ini giliran Dio menyodorkan botol minum kedepan Alan. Alan hanya bisa mematuhi nya saja. Dia tidak banyak bicara saat itu. Hanya fokus menyeka beberapa bagian wajah nya dan tangan nya. Alan juga semakin menggulung jaket himpunan nya. Menyembunyikan beberapa bercak noda darah disana yang terlihat ngeri jika diperlihatkan.

"Thanks Dev, Di."

Devan dan Dio mengangguk bersamaan. Mata mereka masih sama-sama menatap Alan dengan tatapan iba. Meskipun sudah berkali-kali keduanya menghadapi hal seperti ini, nyatanya mereka tetap tidak tega melihat bagaimana kondisi Alan. Padahal disaat seperti itu, Alan benar-benar berusaha untuk tidak pernah menunjukkan rasa sakit nya di depan kelima teman nya. Meskipun sebenarnya dia menahan mati-matian nyeri di tubuh nya.

"Lo sebenernya ngapain sampe sini Lan?" Dio akhirnya bertanya. Ini bukan arah ke jalan kost Alan. Dan Dio sangat tau, setidak punya kerjaan apapun Alan, laki-laki itu akan tetap langsung pulang ke kost nya setelah semua urusan kuliahnya selesai. Bahkan untuk sekedar nongkrong pun jika bukan karena dipaksa, akan sulit sekali mengajak Alan.

Lagipula Dio sempat melihat Alan berangkat ke kampus nya dengan motor tadi pagi. Kenapa mendadak kahim nya itu sudah di halte bus yang jarak nya cukup jauh dari kampus? Dan Dio tidak menemukan dimana tanda-tanda motor Alan.

"Gabut aja," balas Alan terkekeh sekilas. Masih sibuk menyeka hidungnya dengan tisu.

"Hah anying?!"

Alan Allana | Lee Jeno✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang