32. Dive Into You

1.6K 238 52
                                    

Happy Reading

.

.

.

Alan berdiri tepat di depan cermin toilet. Setelah mencuci tangannya di wastafel, laki-laki itu membuka sedikit kaosnya sampai memperlihatkan pinggangnya yang berbercak keunguan, lebam nyaris menghitam. Kemarin malam, itu hanya terlihat samar, namun sekarang terlihat pekat dan rasanya nyeri. Tapi syukurlah tidak bertambah banyak.

Alan membuang napasnya panjang, menurunkan kaosnya lagi. Sudah sering Alan mengalaminya. Rasanya lebam dan mimisan sudah jadi kebiasaan nya sekarang. Namun nyatanya meskipun sudah berpuluh tahun Alan sudah mengalaminya, masih saja ada rasa ingin sembuh dalam diri Alan walaupun nyatanya dia tidak akan sembuh sampai kapanpun. Mau sekuat apapun Alan menahan nya, tubuhnya tetap tidak bisa sekuat orang pada umumnya.

Alan beralih merogoh kantong celananya, menghidupkan ponsel. Berniat menghubungi perempuan yang sangat ingin Alan dengar suaranya sekarang. Satu-satunya perempuan yang akan selalu menyapa nya dengan suara paling menenangkan sedunia.

Suara nada tersambung terdengar mengalum pelan di telinga Alan meskipun beberapa kali sempat tersendat sebab sinyal yang naik turun di dalam toilet. Namun tak lama, panggilan Alan akhirnya tersambung juga.

"Halo kakak?"

Alan langsung tersenyum lega tepat saat suara Mama nya terdengar setelah sekian lama.

"Halo Ma?"

"Iya, kenapa kak? Pusing lagi?"

"Enggak, Alan luka dalem lagi Ma. Di tangan sama pinggang. Maaf."

"Aduh ya ampun kamu ini. Jangan dipaksain kak kalo apa-apa itu. Jaga badanmu baik-baik. Kalo capek istirahat. Ada yang sakit nggak?"

Alan terdiam, ingin sekali bilang kalau semua lebam di tubuh nya itu sakit. Tapi Alan tidak mau membuat Mamanya jadi panik seperti saat mendengar Alan sakit tempo hari.

"Eng--gak ada kok Ma," bohong Alan disusul sebuah ulasan senyum getir.

"Beneran? Kalo sakit langsung diminum vitamin nya. Jangan nunggu tambah parah kak. Mama khawatir kalo kamu sampe sakit lagi. Atau mau Mama susulin ke Bandung sekarang?"

"Ma... hei... Alan nggak papa. Cuma lebam dikit kok. Udah biasa. Nggak sakit sama sekali. Ini buktinya Alan masih bisa telpon Mama."

"Beneran?"

"Iya Ma. Mama nggak perlu jauh-jauh ke Bandung segala. Dirumah aja nemenin Arin."

Terdengar suara dengusan dari Mama Alan di seberang sana.

"Yaudah, nanti minta temenin Faris check-up ke klinik. Jangan telat makan. Nggak ada begadang-begadangan. Inget kamu nggak boleh sembarangan lo kak."

"Iya Ma. Maaf. Mama sehat-sehat juga ya disana. Adek kemana Ma?"

"Ada. Nggak tau tuh, nggak jelas daritadi di depan kaca joget-joget."

Alan tertawa mendengarnya, lantas mengusap belakang kepalanya membayangkan adik nya lagi-lagi bertingkah aneh di depan kaca. Semenjak ikut klub dance, Arin memang jadi sering tidak jelas seperti itu.

"Alan tiga hari lagi bisa pulang ke Jakarta, mau Alan bawain apa? Arin juga kalo mau sesuatu bilang ke Alan."

"Bawain pacarmu aja kalo udah punya. Nanti Mama masakin makanan yang enak," gurau Mama dari seberang. Kekehan kecil dari seberang membuat Alan mendengus ikut tersenyum karenanya.

Alan Allana | Lee Jeno✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang