47. Kilas Balik

1.1K 151 17
                                    

Happy Reading

.

.

.

Tidak pernah Faris bayangkan kalau malam ini akan menjadi malam terakhir dirinya bisa mendekap raga Alan. Setelah ini, tidak akan pernah ada lagi moment dimana Faris dihadiahi sebuah pelukan hangat sebagai bentuk rasa terimakasih. Tidak akan ada lagi orang yang mengisi jok belakang motornya setiap seminggu sekali dan memintanya mengantarkan sampai pelataran rumah sakit. Dan membuat Faris berkali-kali sadar betapa hidup ini sangat berharga.

Saat ini Faris, Vano, dan Leo sudah ada di dalam liang lahat. Sama-sama mendekap raga Alan kemudian menurunkan tubuh Alan perlahan-lahan dengan diwarnai suara tangis pedih yang bersahut sahutan dari atas.

Saat Faris membuka tali kafan yang tadinya terikat rapi dan kemudian mendapati wajah tenang Alan, tubuh Faris seketika bergetar. Dada nya terasa sakit sekali. Bahkan saat Mark menyodorkan sebilah papan dari atas, Faris sampai gemetar.

"Lan, lo pernah kagak, punya keinginan yang konyol kaya misal, gue nih... Gue pengen ngerasain naik kapal titanic."

Sesaat, Alan dibuat cengo. Namun kemudian laki-laki itu terlihat berpikir sejenak dan tak lama tersenyum sendiri saat melihat Faris duduk di tepi kasur kamar kost nya sambil makan sepiring mangga dengan tatapan polos.

"Ada," balas Alan singkat.

"Apaan?! apaan?!" antusias Faris sampai menggebu-gebu.

"Gue pengen jadi adek lo," kata Alan pelan. Diselingi guratan senyum yang entah apa maksudnya.

Faris yang tadinya sangat antusias, seketika terdiam menatap Alan dengan posisi menggigit garpu nya. "Adek gue? Nggak salah? Kenapa emang?"

"Pengen aja, bisa ngerasain punya abang yang bakal selalu bersedia gue repotin terus kaya lo. Gue juga pengen ngerasain digendong di punggung," jawab Alan santai. Alan sempat terkekeh sebentar atas jawaban nya. Agak menggelikan, tapi jujur Alan sempat menginginkan hal konyol itu. Bibir Alan memang tertawa, tapi entah kenapa wajahnya tidak terlihat begitu.

Sedangkan Faris hanya terdiam di tempat nya. Bingung antara ingin tertawa atau sedih mendengarnya. Jujur itu keinginan paling aneh yang pernah didengarkan nya.

"Lan. Kayaknya gue harus ikut nge gym Vano kapan-kapan. Ntar kalo udah kuat, gue gendong lo dah. Mau kemana? Antartika? Meksiko? Swiss? Gue jabanin---" Faris menjeda kalimatnya sambil mengusap tengkuk nya, "Insyaallah tapi..." sambungnya terdengar ragu-ragu.

Alan seketika tertawa mendengarnya. Serius, kenapa Faris sampai seserius itu menanggapinya. Padahal kan itu hanya andai saja.

"Udahlah... Lagian cuma misal doang. Sekarang gue cuma pengen lo sehat dan tetep bersedia jadi temen gue buat waktu yang lama. Itu aja gue udah bersyukur banget Ris."

Dan sekarang, Faris betulan mewujudkan keinginan Alan. Mungkin Faris tidak bisa menggendong Alan di punggung nya seperti yang Alan inginkan. Tapi setidaknya Faris bisa membopong tubuh Alan untuk terakhir kali nya sekarang. Mendekap tubuh yang biasanya terlihat sangat kuat namun sebenarnya selalu melemah setiap hari tanpa orang lain sadari.

Dengan air mata nya yang semakin berderai, Faris bergumam pelan di samping raga Alan.

"Lo bakal selalu jadi adek kebanggaan gue Lan..."

Nyatanya kalimat-kalimat nasihat yang selalu Alan katakan padanya hanyalah omong kosong. Alan selalu menegaskan kalau laki-laki itu harus jadi manusia yang tegar. Karena sejatinya laki-laki itu diciptakan untuk jadi sebuah tameng yang kuat.

Alan Allana | Lee Jeno✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang