21. Patah

1.7K 224 112
                                    

vote jangan lupa yaa

-----

Happy Reading

-----
.
.
.

"Woy nyet!"

Di tengah hangat nya sinar matahari, sebuah suara super berat terdengar di telinga Leo. Dio datang dari arah barat mengenakan hoodie warna mint kebanggaan nya sambil melambai-lambai kearahnya dan langsung menduduki kursi di sebelah Leo. Laki-laki itu lantas melepas hoodienya, menyisakan kaos putih yang ada di dalamnya.

"Eh Di!"

Leo ikut tersenyum menyapa mendapati kawan nya yang sudah 5 hari ini tidak terlihat batang hidung nya di kampus karena mengikuti konverensi nasional, pulang dengan selamat. Dio sepertinya baru saja berangkat ke kampus. Terlihat dari penampilannya yang masih rapi.

"Gimana Bali?" tanya Leo basa-basi langsung mengajak Dio tos.

"Mantep gila. Ceweknya bening-bening," antusias Dio mengacungkan jempolnya puas. Leo tertawa. Sudah Leo duga Dio akan menjawab seperti itu alih-alih mengatakan bagaimana indah nya suasana Bali.

"Tumben basketan gan? Biasanya ngadep buku mulu sama proker," sindir Dio melihat Leo mulai merenggangkan badannya bersiap untuk bermain basket.

Biasa, Leo kan anak rajin. Tidak biasanya meluangkan waktu walau hanya untuk main bola. Dan yang lebih mengherankan nya lagi, sepertinya Leo serius mau main basket kali ini bukannya hanya sekedar mendribble bola beberapa kali hanya karena iseng.

"Gue bukan anak ambis," kekeh Leo.

"Kampret, bukan anak ambis tapi IPK nya selalu jebol."

"Lagi beruntung aja lah."

Dio menggulir matanya malas, "Iye-iye. Heran, kagak mau banget dipuji."

Leo tersenyum kecil. Dengan balutan kaos oversize abu-abu dan celana jeans putih yang dikenakan nya hari ini, Leo meraih bola basket dari dalam tas nya. Dia mendribble sebentar di tempat nya berdiri untuk melemaskan otot tangan nya.

"Join nggak?"

"Kagak dulu lah. Mau ketemu ayang Ocha abis ini. Bisa diledekin kagak mandi gue kalo keringetan. Gue liatin aja dimari aja."

Leo ber-oh sembari mengangguk-angguk. Tak lama, Leo sudah berjalan ke tengah lapangan sembari mendribble bola lalu memasukkan kedalam ring dengan mudahnya.

Dari pinggir lapangan, lebih tepatnya di bawah naungan gazebo, Dio menatap kagum betapa lihainya Leo memainkan bola basket ditengah sana. Rasanya setiap melihat Leo semahir itu dengan basket, Dio merasa sayang saja kemampuan itu hanya digunakan untuk pelepas bosan bukannya dikembangkan.

Jika ditanya soal membujuk Leo untuk ikut organisasi basket untuk mengembangkan minat dan bakat nya, tentu Dio sudah melakukan nya. Tapi Leo sendiri yang bilang kalau dia hanya ingin menyukai basket untuk dirinya sendiri. Bukan untuk kompetisi.

"Eh ngomong-ngomong Ocha aman kan Le kemarin baksos? Kagak macem-macem?"

Tiba-tiba Dio bertanya dari pinggiran ditengah permainan basket Leo. Dio memang sempat menitipkan Ocha pada Leo. Karena dari sekian banyaknya anggota himpunan, Dio yakin Leo yang paling normal untuk bisa dipasrahi tugas seperti itu. Sebenarnya Alan bisa saja. Tapi Dio tidak mau merepotkan Ketua Himpunan itu. Dia kan pasti sibuk.

"Nggak, cuma satu macem," jawab Leo enteng kembali men-shooting bola ditangannya ke ring.

Dio melotot kaget. Dia mulai terlihat mengepalkan tangannya kesal.

Alan Allana | Lee Jeno✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang