Bab 1

68.8K 2.1K 41
                                    

***
"Assalamualaikum. Spadaaaa!!! Halooo!!! Haeeee!!! Alisia yang cantiknya ngalahin Maudy Ayunda pulang, Yuhuuuuuu!!!" teriak gadis berusia 23 tahun itu memenuhi seisi rumah.

Alisia Malaika Tarasari, gadis cantik dan petakilan. Bermulut pedas,  suara seperti toa masjid, dan juga sangat bar-bar kelakuannya. Anak bungsu dari Danish dan Alma. Mempunyai Abang bernama Rafaizan Gaffi Syafiq, seorang Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Airlangga Surabaya. Alisia bercita-cita tidak ingin memiliki suami seorang abdi negara. Karena, dia tidak ingin bernasib sama seperti Bundanya. Yang setiap kali ditinggal tugas oleh Ayahnya.

"Apasih dek? Jangan teriak-teriak bisa? Lo kira ini hutan? Lo kalo mau teriak Sono ikut ayah ke hutan." sebuah bantal kursi melayang mengenai kepala Alisia setelah teriakannya menggema. Siapa lagi kalau bukan Gaffi yang melemparkan bantal tersebut.

Alisia adalah tipe orang yang malas atau tidak mau tinggal sendiri. Berbeda dengan Gaffi, memilih kuliah di Kota Pahlawan, Surabaya. Dan sekarang menimba ilmu di Surabaya. Gaffi adalah Abang yang terbaik versi Alisia. Yang selalu menuruti apa pun permintaan sang adik.

"Eh Abang ganteng. Tumben pulang? Ingat rumah juga Lo," ucap Alisia langsung duduk di sebelah Gaffi.

"Gue pulang salah, nggak pulang Lo telepon terus. Serba salah gue jadi Abang."

"Emang gitu kan, Bang. Abang selalu salah."

Gaffi hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan sang adik, "Habis dari mana, Lo?"

"Main lah, emang Lo yang selalu aja sibuk sama kuliah. Emang fotocopy an Ayah banget."

"Gue tembak isi kepala kau nanti kalo banyak omong. Habis dari mana?"

"Dugem," jawab Alis singkat. Mengundang prahara memang Alisa hobinya.

Jangan heran jika omongan Alisia yang tidak masuk filter mulutnya. Selalu ceplas-ceplos dan tidak berpikir terlebih dahulu. Emang muludnya minta di sekolahin.

"Beneran gue tembak sekarang ya? Lama-lama jadi nggak bener ya Lo. Gue minta ayah buat nikahin Lo tau rasa." Gaffi langsung menonyor kepala sang adik.

"Main Abang, ngopi aja di cafe. Yakali gue dugem, bisa-bisa gue dimutilasi sama Ayah."

"Gue buang Lo ke laut."

"Eh anak-anak Bunda pada ngapain? Tumben akur?" suara wanita paruh baya menginterupsi.

"Ya Allah Bunda, kita akur salah, kita berantem salah. Yang bener tuh gimana bunda ku sayang?" tanya Alisia sedikit mendrama.

"Tumben aja liat kalian akur gini. Eh Gaffi libur berapa lama, Nak?"

"Besok juga balik aku, Bund." Gaffi menjawab sambil mencubit pipi Alisia. Tentu saja Alisia langsung berteriak kesakitan.

"Tangannya minta dipotong?" tanya Alisia sarkas.

"Baru juga diomong akur, eh udah berantem lagi." Alma hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua anaknya. Sudah tidak heran jika mereka selalu saja berantem. Dari mereka kecil sudah pintar membuat darah tinggi Alma.

"Bunda masak apa?" tanya Gaffi.

"Masak sop ayam sama ikan goreng," jawab Alma sambil berjalan menuju ruang makan.

"Widihhh. Makan dulu yuk, Bang." Alisia menarik tangan Gaffi dengan kasar.

"Biasa aja kalo narik, ini tangan bukan benang," omel Gaffi.

"Stop!!! Kalian bisa gak sih diam nggak usah berantem. Kuping Bunda panas dengerin kalian," omel Alma sambil menjewer kuping keduanya.

Gaffi maupun Alisia meringis kesakitan dengan jeweran sang Bunda. Jeweran maut kalo kata Alisia. Alma memang tidak pernah memberikan hukuman kecuali jeweran. Karena Alma sudah pusing mendengar anak-anaknya bertengkar. Sebenarnya yang memancing keributan adalah anak perempuannya, siapa lagi kalau bukan Alisia. Hobi sekali menjahili Abangnya. Meskipun mereka berdua sudah sama-sama dewasa, sikap mereka jika bertemu akan membuat seisi rumah gempar.

Alisia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang