Bab 15

23K 1.2K 13
                                    

(Jangan lupa follow dulu ya💚)
Ada sedikit mengandung kebucinan.

Happy Reading 💚

Hari ini, hari dimana dua insan yang awalnya orang asing, akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan Alisia dan Fathan diadakan di dua tempat. Untuk akad nikah, diadakan di kediaman mempelai perempuan, tentu saja Alisia. Hingga detik ini, Alisia masih tidak menyangka bahwa dirinya akan segera melepas masa lajangnya. Menikah dengan orang yang sebelumnya tidak pernah ia kenal. Bahkan membayangkan nikah di usia muda, 23 tahun tidak sama sekali terbesit di pikirannya.

Alisia sudah memakai kebaya dress berwarna putih lengkap dengan jilbab putih. Make up yang natural dan fresh menjadi pilihannya. Karena, Alisia memang tidak terlalu suka make up. Tidak lupa wedges senada. Kenapa wedges, karena Alisia tidak suka memakai high heels, atau lebih tepatnya kurang nyaman.

Duduk di kursi dan ditemani oleh Dinda. Menunggu calon suaminya datang, mungkin sekitar 10 menit lagi. Alisia bukan gugup, namun sedang memikirkan cara untuk kabur.

"Gue kabur aja ya, kak." Dinda langsung melotot matanya mendengar ucapan ngawur Alisia.

"Nggak usah banyak tingkah deh, Lis. Otak Lo isinya kabur Mulu dari lamaran. Emang Lo kenapa sih nggak mau nikah," sewot Dinda.

"Gue belum siap, Kak. Gue masih labil, gue masih suka marah. Gue egois banget, gue gak cinta sama tuh om-om."

Dinda rasanya pengen nge geplak kepala Alisia, kalau perlu jedotin ke tembok. Dimana-mana orang mau nikah itu bahagia, seneng. Berbanding terbalik dengan Alisia yang malah memikirkan cara bagaimana untuk kabur. Membatalkan pernikahan ini. Memang sudah sableng itu otak.

"Gini deh, Lis. Tuh calon suami Lo udah perjalanan mau ke sini. Beberapa menit lagi, Lo udah jadi istri dia. Jadi stop untuk mencoba kabur. Anteng aja di sini sama gue. Gue yakin deh kalo udah nikah beda, pasti bahagia." Dinda memang selalu bisa menasihati orang, namun dirinya sendiri tergolong sad girl.

"Belum tentu! Siapa tau gue nggak bahagia sama tuh om-om," ujarnya enteng.

"Bukannya bilang amin malah bilang yang nggak-nggak." Dinda memukul lengan Alisia.

Tidak lama kemudian, Bundanya masuk ke kamar. Dengan raut bahagia terpancar dari mukanya ketika melihat Alisia. Masih tidak menyangka putri kecilnya kini sudah mau menjadi seorang istri. Baru kemarin rasanya menggendong dan menggantikan popok Alisia. Satu titik air mata lolos dari mata Alma. Buru-buru ia langsung menghapus sebelum Alisia melihatnya.

"Dek?" Panggil Alma lirih. Alisia langsung mendongak menatap wajah bahagia Alma.

"Iya, Bund?"

"Fathan dan keluarganya sudah datang. Sebentar lagi akad nikah akan dimulai. Adek gugup?"

Mendengar pernyataan Alma, Alisia mendadak gugup. Kenapa baru gugup sekarang? Di saat dirinya pengen kabur. Fathan sudah datang, itu artinya sebentar lagi ia akan sah menjadi seorang istri. Bagaimana jika sudah menjadi seorang istri ia tidak bisa main, tidak bisa bangun siang, bahkan tidak bisa sebebas saat masih lajang. Bukan itu, melainkan apakah ia bisa menjadi istri yang baik? Istri yang nurut sama suami? Sedangkan dirinya saja sangat egois dan keras kepala.

"Beneran Bund? Gugup sih iya, Bund. Tapi apa Alisia bisa jadi istri yang baik nanti?"

"Bisa. Adek bisa jadi istri yang baik. Adek harus nurut apa kata suami, adek tidak boleh menentang suami adek. Surga istri ada pada suami." Saat Alma mengucapkan itu, Alisia sudah tidak bisa menahan air matanya. Butiran air matanya lolos dengan sombong. Dinda yang berada di situ juga ikutan menangis. Alisia langsung memeluk bundanya. Rasanya begitu cepat, ia tidak mau pisah dengan bundanya. Masih ingin bersama- dengan bunda, ayah dan juga abangnya.

Alisia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang