Bab 3

23.9K 1.3K 13
                                    

(Follow author dulu yuk, Bund. Dan pencet love dulu😍💚. Love sekebon deh buat kalian💚💚💚💚💚)
.
.
.
.

Bimbingan skripsi adalah hal yang menurut Alisia paling membosankan. Dosen pembimbingnya memang sabar, namun skripsinya akan penuh dengan coretan yang berbentuk seperti batik. Banyak sekali koreksi kata atau kalimatnya. Dosen pembimbing nya itu sangatlah jeli dalam hal apa pun. Salah meletakkan tanda baca saja akan dicoret dan diberi tulisan, yang menurut Alisia sama saja seperti sebelumnya. Hingga halaman penuh dengan kata-kata mutiara dari dosen pembimbingnya.

Ayahnya memberi ultimatum kepadanya untuk sidang pada bulan April. Dan ini sudah bulan Januari mendekati bulan februari. Skripsinya saja masih sampai bab 1 belum selesai-selesai. Bagaimana bisa dalam waktu 3 bulan akan selesai dan sidang. Tidak tahu apa ayahnya itu jika dosen pembimbingnya sangatlah teliti. Belum kelar skripsi udah meninggal duluan yang ada nanti.

Alisia juga masih dengan acara ngambeknya pada Danish, akibat perkataan Danish yang akan menjodohkannya. Demi apapun seorang Alisia dijodohkan. Ia berpikir yang tidak-tidak, bagaimana jika yang dijodohkan dengannya itu sudah tua? Bagaimana jika yang dijodohkan itu orangnya culun? Bisa tamat riwayatnya kalau begitu. Sungguh teganya ayahnya menjodohkan anak perempuannya yang paling cantik ini dengan orang culun, pikirnya.

"Bodo amat dengan perjodohan, stress gue mikir skripsi," gumam Alisia sambil geleng-geleng kepala membayangkan calon suaminya.

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Alisia yang sedang duduk di bangku kantin, "Hei!! Bengong aja, Mam?"

"Astaghfirullah! Sialan Lo, Kak," ucap Alisia sambil mengelus dadanya.

"Lagian Lo bengong aja, dek. Mikirin apa sih? Jodoh?" tanya Dinda.

Dinda Adiratna, satu-satunya sahabat cewek yang dimiliki oleh Alisia. Hanya Dinda yang tahan akan sikap keras, petakilan, bar-bar, dan mulut cabe Alisia. Dinda sebenarnya kakak tingkat Alisia di kampus. Namun, mereka berteman sejak kecil. Rumah Dinda terletak di perumahan dekat Batalyon tempat tinggal Alisia dulu. Mereka tidak sengaja bertemu di minimarket depan Batalyon. Lalu mereka berteman bahkan bersahabat sampai sekarang. Rumah Dinda pun juga terletak tidak jauh dari Alisia.

"Iye nih lagi mikirin jodoh. Yakali gue mikirin jodoh, kak. Mikir skripsi aja kagak kelar-kelar ini bagaimana?"

"Siapa sih dospem Lo?"

"Bu Aning dospem gue," jawab Alisia malas.

"Tuh dosen baik banget perasaan dah. Lo kebanyakan copas ya?" tuduh Dinda pada Alisia.

"Gila ya Lo, yakali gue copas. Tuh dosen emang baik, tapi nih liat skripsi gue penuh dengan batik," ucap Alisia sambil menunjukkan hardcopy skripsinya pada Dinda.

Dinda tertawa melihat skripsi Alisia yang penuh dengan coretan penuh cinta dari dosen pembimbingnya.

"Kenapa Lo ketawa, kak?" tanya Alisia sinis.

"Nggak. Heran aja gue sama itu dosen. Bisanya ngasih kata-kata mutiara banyak banget gini."

"Lo aja heran, apalagi gue," ungkap Alisia.

"Oh ya, kemarin lusa atau kapan gitu, gue telpon Abang Lo. Nanyain Lo di rumah apa nggak, soalnya Lo ditelpon kagak diangkat. Mati Lo?"

"Astaghfirullah, gila Lo kak. Gue di rumah kok, tapi males aja pegang hp." Alisia menjawab sambil memukul Dinda dengan skripsi yang di gulung.

"Gayaan Lo males pegang hp, biasanya juga hp nulu yang dipegang," cibir Dinda.

"Gue lagi bete asli. Masa iya gue mau dijodohin. Gila gak tuh," gerutu Alisia.

Alisia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang