"By? Ngapain berdiri di situ?"
Agler memergoki Mesha kecil berdiri di depan pintu kamarnya dengan memangku wajah polos.
Anak perempuan itu melangkah masuk. Wajahnya tampak takut menatap Agler yang mengamati tiap gerakannya. Agler dengan senyum yang terangkat, tahu bahwa Mesha sedang tidak baik-baik saja.
"Sini," Agler menepuk sisi ranjangnya. Meminta Mesha duduk di sampingnya. "Ada apa?"
Mesha memeluk Agler spontan, membaringkan diri di dalam selimut Agler. Melingkarkan tangannya yang tak seberapa panjang di pinggang Agler yang langsung mengusap lembut kepala adiknya.
"By boleh nanya?" Mesha merapatkan posisinya.
"Boleh,"
"Tadi, di sekolah, ada yang bilang By nggak punya orang tua. Soalnya By nggak tahu nama Mama Papa By," tuturnya begitu lirih.
Agler terdiam.
Hujan diluar sana, memperdengarkan dengan jelas bagaimana airnya jatuh dari timbunan kesedihan, dan untuk pertama kalinya Agler sadar, bagaimana reruntuhan es yang mencair di dinginnya malam seolah menyayat hatinya menyebabkan guntur dan petir yang seketika menyambar.
"By boleh nggak, kalau nggak sekolah?" sambung Mesha. Gadis kecil itu memang nampak murung sejak pulang dari sekolah.
Baru seminggu Mesha duduk dibangku warna-warni itu, Agler tidak menyangka Mesha akan sulit beradaptasi dan bersosialisasi dengan anak-anak lain.
Bibir Agler menipis, ia mencengkeram bahu adiknya dengan sangat lembut, terkadang mengusapnya untuk menyalurkan ketenangan.
"By memang nggak punya orang tua, tapi By punya Abang sama Oma, bilang kayak gitu sama temen-temen By di sekolah. Jangan pernah takut, selama itu benar. Okay?"
Bukan, bukan jawaban seperti itu yang ingin Mesha kecil dengar. Ia benar-benar tidak mau sekolah. Karena itu membuatnya merasa berbeda, ketika yang lain terlihat senang ditunggu sang ibunda di depan pintu sambil melambaikan tangan, yang bisa ia lakukan adalah menghitung balok dan mengamati gambar.
Saat pulang sekolah, ketika yang lain berlari mencari peluk sambut orang tua mereka, Mesha hanya melihat mobil supir pribadinya terparkir diam menyambutnya.
Tapi Mesha kecil memilih diam sambil mengangguk. Ia tak berani. Sampai matanya terpejam hanya untuk memikirkan bagaimana anak-anak itu akan menanyainya dengan seribu cara esok hari.
🍁🍁🍁
"Hai!"
Perpustakaan adalah tempat favorit Mesha di SMA ini. Selain keadaan yang memang selalu tenang, Mesha bisa membuang napas lega karena tak akan ada satu pun orang yang akan mengganggunya karena bangku di sudut ruangan yang jauh dari pintu dan deretan bangku lain itu, bisa membuatnya nyaman.
Tapi kali ini sepertinya tidak. Rey Alvarendra kembali menghampirinya, kali ini jelas tampak lebih 'sok' akrab dengannya.
"Hai?! Gue nyapa lo, Sha," tegurnya sembari duduk berhadapan dengan Mesha.
Mesha melirik kanan kirinya, tak heran kalau ia waspada karena pengekor Rey pasti sedang menatapnya entah dari sudut mana pun.
"Gue nggak boleh kenal lo, ya? Dari awal ketemu pun lo nggak pernah ngerespon gue, ya … heran aja gitu! Kalau cewek lain, pasti dengan senengnya bakalan jabat tangan gu–"
"Gue Mesha. Gue bukan mereka. Udah kenal, kan?" Wajahnya datar tanpa ekspresi.
"Sh … okay? Gue harap kita bisa berteman atau seenggaknya bekerja sama di lomba ini," Rey menutup buku yang berada di depan Mesha.
Menuntut Mesha untuk mendengarkannya kali ini. Ia mengulum bibirnya dengan alis terangkat , kemudian terkikik sendiri.
Sekarang Mesha geli. Jadi, sosok Rey yang banyak penggemarnya ini adalah orang aneh yang suka cekikikan sendiri?
"Bu Cindy bilang, kita berdua harus kerja sama dan belajar bareng untuk tahu konsep pemikiran masing-masing. Eh gue denger, lo itu orangnya pendiem, ya?" picing Rey dengan nada mencurigai, tiba-tiba mengubah topik.
"Nggak. Gue cuma suka ketenangan, nggak suka diganggu, nggak suka keramaian, nggak banyak ngomong," Mesha menatap lurus mata Rey.
Ia menangkap kilauan hangat di sana, bahkan sampai mata itu menyipit, Mesha betah menatapnya seperti itu.
"Oke-oke. Gue paham. Jadi, to the point aja, gue sebagai partner lomba lo, minta waktu lo yang 'nggak suka diganggu' itu untuk sekadar belajar bareng. Kita berdua."
Sementara itu, mata-mata yang tengah mengamati kegiatan Rey dan Mesha di balik celah buku, tertohok dan terguling oleh perkataan Rey yang terkesan menekan dan memohon.
Mesha mendesah kecil, ia mulai pengar dengan situasi ini. Rey yang sadar kalau para demit-nya sudah mengganggu Mesha, juga menghela napas.
"Iya!" Rey memecah suasana dengan nada tegasnya. "Gue yang jamin mereka nggak bakal ngusik lo, jadi lo tenang aja."
"Shhh, bahkan belum mulai pun mereka udah over," gumam Mesha.
Rey yang melihat mulut Mesha bergerak segera mempekakan telinga, "Lo ngomong apa?"
Kepala Mesha terangkat dengan cepat, "Terserah lo, yang penting jangan mau tau soal masing-masing. Itu udah cukup buat gue. Gue balik," putus Mesha sembari berdiri.
Ia meninggalkan Rey dan ruang perpustakaan menuju kelasnya.
🍁🍁🍁
Matahari yang menjinjing setengah siang itu tetap keukeuh di tempatnya. Sebagian siswa di kelas Mesha tampak malas berganti pakaian olahraga.
Tapi gadis itu sudah siap dengan rambut yang dikuncir kuda dan bola voli di tangannya. Mesha berjalan sendiri diikuti teman sekelasnya jauh di belakang.
Koridor ruang loker itu lebih sunyi dari biasanya karena jam pelajaran sesi kedua memang sudah dimulai.
Mesha berhenti sejenak, menurunkan pandangan dan melihat tali sepatunya yang kendor. Ia berjongkok untuk meraihnya.
Dari arah yang berlawanan, Rey bersama beberapa temannya berjalan di koridor yang sama. Mengundang desisan penggemar Rey yang ikut berhenti di belakang Mesha.
Mesha mengangkat kepalanya dan mendapati mata Rey yang bertemu dengan pandangannya. Mesha berdiri, sorot matanya terkunci karena Rey tiba-tiba tersenyum ke arahnya.
Jarak mereka semakin pendek. Bahkan dengan sengaja, Rey memiringkan langkah membuat keduanya bersinggungan lengan.
Di saat itu pula, Mesha merasakan sesuatu mengisi telapak tangannya. Rey menyentuh tangannya dengan sengaja. Setelahnya hembusan angin yang terasa hangat membelai daun telinga Mesha. Membuat gadis itu menahan napas seketika.
Momen langka itu ternyata tertangkap beberapa kamera yang sudah menyala sejak Rey muncul di tikungan sebelum koridor di sana.
"Save it,"
Temanggung, 27 Februari 2021
-Ara
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Brother (Sudah Terbit)
Teen Fiction[Sudah tamat] Bayi mungil yang diasuh keluarga Mafia. Hidupnya nyaris sempurna meski hanya dengan pelukan kedua kakak kembarnya. Bhymesha Auri Shenata ditakdirkan untuk mengejar kebahagiaan, cinta, harga diri, dan keluarga. Mesha berada di posisi s...