16 tahun kemudian,
Rambut panjang, kaki jenjang, setelan necis yang sempurna untuk sosok remaja yang berjalan di tengah koridor kelas. Ramainya tempat itu, sampai membuatnya harus memasang wajah datar untuk menyingkap kerumunan.
"Awas."
Para gadis yang tengah bersendau-gurau memenuhi lorong, terpaksa menyingkir setelah tahu siapa yang akan melewati mereka. Bhymesha Auri Shenata, gadis pintar yang sangat tertutup, pendiam, cuek, dan jarang bergaul.
"Ish! Jadi orang tuh, sekali-kali nyapa, kek!" sindir salah satu dari mereka.
Mesha tak peduli, ia berpura-pura tak mendengar dan langkah kakinya semakin panjang. Berjalan tenang menuju kelasnya, meski tiap pandangan orang yang melihatnya penuh intimidasi.
Mesha berbelok di ujung tikungan dan mendapati seorang guru yang memanggilnya. Mesha mengangkat kecil sudut bibirnya, "Ada yang bisa saya bantu, Bu Cindy?"
"Ah, iya. Kebetulan Ibu ketemu kamu di sini, bisa ikut ke ruangan Ibu sebentar?" pinta Bu Cindy, guru biologi SMA Bhakti Pertiwi.
Mesha mengangguk perlahan dan mengikuti langkah gurunya dengan perasaan heran. Tidak biasanya ia dipanggil seperti ini.
Sampai di sebuah ruangan yang cukup bising, karena pintu tersebut berjarak langsung dengan luasnya kantin sekolah. Mesha duduk di depan meja Bu Cindy yang baru saja menutup pintu ruangannya agar bisa meredam suara itu.
Mesha menghela napas sejenak. Ia tersenyum kecil ketika Bu Cindy memberikan senyuman dan duduk di kursinya.
Ruangan yang rapi dengan banyak piala dan berjajarnya anatomi makhluk hidup yang diam, menambah kesan tenang di dalam di ruangan itu.
Bu Cindy mengeluarkan sebuah kertas dari balik tumpukan buku di mejanya. Menyodorkan sebuah format pendaftaran pada Mesha yang memperhatikan kertas itu dalam diam.
"Begini Mesha, Ibu tahu kamu adalah murid yang pandai. Bahkan hampir di semua mata pelajaran. Terutama pelajaran Ibu. Ya, mungkin ini bukan pertama kalinya Ibu memberimu kertas seperti ini. Tapi kali ini, Ibu mohon, Mesha. Sekolah ingin mengirimkan kamu ke lomba ini."
Mesha mendesah tak bersuara. Entahlah, rasanya lelah juga dipaksa mengikuti lomba-lomba seperti ini.
"Ibu heran, anak-anak lain, jika diikutkan lomba akan sangat senang dan merasa bangga. Tapi kamu tidak, apa ada alasan yang bisa Ibu dengar, Mesha?" Cindy mengetuk mejanya dengan gemas.
Mesha tersenyum lebih lebar, "Maaf, Bu. Tapi saya rasa, Ibu tahu alasannya. Ibu bisa memberikan kesempatan ini pada anak-anak lain. Saya benar-benar minta maaf," jawab Mesha yang lagi-lagi membuat Bu Cindy kecewa.
"Tolong pertimbangkan lagi, pastikan ini sampai ke orang tua kamu. Ibu yakin, sebenarnya mereka juga akan bangga karena anaknya akan mewakili lomba tingkat nasional. Bukan begitu?" tandas Bu Cindy yakin dengan kalimatnya.
Mesha mengangguk, "Baik, Bu. Jika mereka setuju, maka saya juga setuju."
Bu Cindy menatap nyalang mata bulat itu, seolah meminta dengan benar keputusan besar ini. Bu Cindy mempersilakan Mesha untuk bisa kembali ke kelasnya.
Kelas XI-IPA 1, tempat di mana Mesha duduk sendiri di dekat jendela. Ia meletakkan tasnya dan menunggu bel masuk. Tak lama, siswa lain juga bergegas masuk dan duduk di tempat masing-masing.
Seorang guru mengisi, tepat setelah bel berhenti berdenting. Dengan sanggulan rambut dan kaca mata minusnya, guru matematika itu segera membuka kelas.
"Selamat pagi anak-anak! Hari ini, Ibu sampaikan hasil ulangan kalian minggu lalu," katanya sambil membuka buku data di tangannya.
Suara gaduh sedikit terdengar bagi anak yang gusruk menanti hasil ulangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Brother (Sudah Terbit)
Novela Juvenil[Sudah tamat] Bayi mungil yang diasuh keluarga Mafia. Hidupnya nyaris sempurna meski hanya dengan pelukan kedua kakak kembarnya. Bhymesha Auri Shenata ditakdirkan untuk mengejar kebahagiaan, cinta, harga diri, dan keluarga. Mesha berada di posisi s...