Prolog

5.6K 297 26
                                    

Bismillah, halo readers😂  cerita ini diikutsertakan dalam event Writing Marathon 30 Days with Aster Genus Publisher. So, mohon dukungannya😆

-------------------------------------------------------------

Hujan deras mengguyur sebuah wilayah yang jauh dari hiruk pikuk kota. Malam yang begitu dingin dan berisik. Hujan menyuarakan tangisnya, petir menyerukan amarahnya. Seorang bayi mungil tersentak dan menangis ketika gelegar guntur mengejutkan tidurnya.

Dari dalam kardus yang setengah basah, ia meraung dalam tangisan. Suaranya memekakkan telinga di antara derasnya hujan malam ini, membuat pemilik rumah tergesa-gesa membuka pintu rumahnya.

Wanita pertengahan 50 tahun itu terkejut, saat menemukan sesosok bayi yang meronta di dalam kardus. Ia berjongkok dan mengambil sang bayi yang kini sudah diam dalam pelukan hangatnya. Wajah bayi itu pucat dengan bibir membiru, "Kedinginan?" pikir wanita itu.

Ia menebar pandangan di antara tirai air yang semakin deras dalam kegelapan malam. Tidak ada siapapun di sana. Ia tak menemukan siapa yang meletakkan bayi malang itu di teras rumahnya. Hanya kegelapan dan hamparan rumput dengan ujung hutan yang lebih hitam.

Wanita itu menunduk, mengambil kardus itu dan tidak menemukan apa-apa selain sebuah catatan kecil yang membuatnya penasaran. Ia membukanya dan di atas kertas kuning itu, tertoreh beberapa kalimat …

"Saya membuangnya karena saya tak bahagia ia hadir. Ia membuat jalan saya menjadi gelap, membuat hidup saya berantakan dan saya tak menginginkannya."

Wanita itu menahan napasnya tak percaya, apa yang ia baca? Kalimatnya jauh lebih pedih saat bayi itu kembali menangis, seolah tahu apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Siapa orang tua bayi yang tega membuang anaknya dan mengatakan hal menyakitkan seperti ini? Bahkan hujan pun tak akan pernah memaklumi kenyataannya.

Hembusan angin yang kuat tiba-tiba menerpa, membuat wanita itu menggigil di balik sweeternya. Ia mendekap bayi itu lebih erat, bunyi petir semakin menambah asih pada relung wanita itu. Ia berjalan masuk ke dalam rumahnya, menguncinya, dan memberi kehangatan lebih pada sang bayi.

Ranjang yang berderit, dan selimut tebal menutupi tubuh bayi itu, Kasih Widura Shenata mengusap lembut kepalanya. Dengan ulasan senyum yang tampak di wajah keriputnya, dengan telaten Widura menidurkan sang bayi.

🍁🍁🍁

"Siapa, Oma?"

Seorang anak laki-laki berumur 10 tahun duduk di seberang Widura, memperhatikan bayi mungil itu dengan wajah tanya. Widura mengelus puncak kepala sang bayi, "Adik baru kalian," tutur Widura lirih.

"Agam punya adik?" tanya anak laki-laki bernama Cakrawangsa Agam Shenata dengan wajah polos.

Widura mengangguk kecil, matanya masih tak lepas dari wajah kecil nan lucu yang sedang komat-kamit dengan lidah yang bergerak lincah.

Dari arah pintu, anak laki-laki yang lain datang dengan langkah kakinya yang bergerak cepat. Wajah mereka serupa dengan mata sipit dan postur tubuh yang sama. Cakrawala Agler Shenata, putra tertua di rumah itu.

"Tadi malam, Agam tidur. Agler yang jagain adiknya. Nangis terus, tapi lucu," celetuk Agler dengan sebuah benda yang ia bawa dari luar kamar.

Agam yang mendengarnya pun melempar tatapan menghakimi pada saudara kembarnya, "Kenapa nggak bangunin Agam?" sanggahnya dengan wajah marah.

Agler menyerahkan mangkuk kecil itu pada Widura, "Kata Oma, nggak usah bangunin Agam. Nanti adiknya nggak bisa tidur karena Agam berisik, hahahaha!"

Agam melipat tangannya di depan dada, mulutnya mengerucut lucu yang berhasil membuat Widura terkekeh.

Widura mengambil beberapa tetes madu dari  mangkuk yang di bawa cucunya ke dalam gelas kecil berisi air hangat. Mencampurnya dan melarutkannya menjadi sebuah minuman. Kain kecil yang ia gulung, siap ia gunakan untuk membantu bayi itu mengisap asupan. Airnya menetes ke permukaan mulut sang bayi yang perlahan terbuka.

"Siapa namanya, Oma?"

Wanita itu terdiam sejenak. Mengamati dengan saksama wajah bulat yang antusias menyambut nira madu dari alat bantunya. Tampak lahap membuat Widura seketika tersenyum.

"Bhymesha Auri Shenata."

Agam dan Agler saling melempar pandangan, tak lama senyum mereka juga ikut merekah. Bayi itu tampak aktif bergerak, seolah ikut bahagia dengan pandangan penuh kasih dari ketiga orang di dalam kamar itu.

Temanggung, 22 Februari 2021
-Ara

Twins Brother (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang