Mesha memukul bantalnya. 16 tahun sudah ia selalu menangisi hal ini, dan sekarang? Ia bahkan tidak bisa untuk mengeluarkan sesak di dadanya.
Ia terlalu takut untuk berhadapan dengan Tuan dan Nyonya Shenata. Mungkin benar, alasan kedua kakaknya menetap di sini adalah karenanya, tapi sekalipun Agam Dan Agler pindah, Mesha juga tak akan pernah rela.
Lagi-lagi bantal itu menjadi sasaran pukulannya. Seandainya ia bisa lebih berani daripada ini.
Di tengah kekesalannya itu, pintunya terketuk dari luar.
"By?"
Mesha berbalik, mendengar suara Agam dari balik pintu. Gadis itu menata ekspresinya sebaik mungkin. Mesha mengatur napasnya agar tak terlihat kesal. Kakinya turun dari ranjang dan berjalan meraih gagang pintu.
Dibalik pintu, Agam menatap dengan senyuman hangat yang singkat, Mesha melihat sebuah piring dan makanan di tangan Agam.
"Abang boleh masuk?"
Mesha mengamati raut wajah Agam yang tak biasa. Ia menangkap hal aneh dengan sorot tajam. Ia membuka lebih lebar pintu kamarnya dan membiarkan Agam masuk.
Mesha berjalan dan duduk di atas kasur dengan wajah muram, ia memperhatikan Agam yang tengah menyiapkan makan malamnya. Meletakkan gelas dan duduk di kursi yang Agam tarik dari meja belajar.
"By belum makan, makan dulu, ya? Abang suapin."
Jantung Mesha berdesir, ia membenarkan pilihan tak rela jika Agam dan Agler harus meninggalkannya di sana. Mesha tidak bisa jauh dari mereka, Mesha phobia kekosongan.
"Ayo, buka mulut. Aa ... " Agam menyendokkan nasi ke depan mulut Mesha. Tidak ada wajah ceria yang Mesha lihat, kenapa Agam menatapnya seperti itu sekarang?
"Abang jangan pindah, ya?" celetuk Mesha memikirkan dugaannya. Mesha bahkan tak membiarkan suapan itu masuk ke dalam mulutnya.
"Aa dulu," Agam memaksa. Gadis itu berkaca-kaca saat menerima suapan Agam.
"Abang ... By takut, kalau Abang sampai pindah, By sama siapa?" Mesha masih menahan tangisnya. Membayangkan Agam dan Agler yang pindah, itu lebih menakutkan daripada saat ini.
Agam meletakkan sendok di atas piring sampai bunyinya berdenting.
"By? Kenapa By bohong? By bilang kalau By di perpustakaan, tapi yang Abang lihat, By di cafe ... "
Deg!
"Main? Jalan-jalan? Pacaran?" berondong Agam mengeluarkan emosinya.
"Abang nggak pernah suka kalau By bohong," tukas Agam tak terbantah, "Kalau kayak gini, lebih baik kalau Abang pindah ke Australia. Biarin kamu sendirian di sini," imbuhnya dengan banyak kata yang ditekan.
Bola mata Mesha membesar. Sesak di dadanya semakin menjadi.
"Kalau Abang pindah, By jadi lebih bebas mau main, kan? Bisa seenaknya jalan-jalan, nggak perlu izin, nggak usah ngabarin, nggak ada peraturan rumah! Nggak ada yang bakal nanyain By di mana? Lagi apa? Sama siapa? Nggak ada, kamu bisa sepuasnya main!"
"By nggak main," lirih Mesha menggeleng, ia menatap bola mata Agam yang malam ini terasa asing dan tajam. Sesungguhnya yang tertahan mulai terdengar.
"By? Apa alasan Oma menyekolahkan By di sekolah umum?" Agam beruntun menampar Mesha dengan pertanyaan-pernyataannya. Membuat Mesha berada di sudut dengan banyak tombak kesalahan tertuju padanya.
"Karena By bukan anak kandung keluarga Shenata!" jawab Mesha dengan lantang. Ia mengeratkan jemarinya meremas bantal guling dipangkuannya. Ia tahu itu. Mesha memang bukan bagian keluarga ini.
Agam berdecih lirih, ia menggeleng, "By salah. Oma melakukan itu karena Oma nggak mau By meneruskan hal yang terlalu kejam dilakukan."
"Itu sama artinya By memang bukan bagian keluarga Shenata. Iya, kan, Bang?" Mesha tidak tahu harus berpikir bagaimana. Tak sepenuhnya ia harus menjadi gadis penurut, terkadang rasanya memang ia terkekang. Tapi jika fakta itu di perjelas, Mesha pun tak tahan.
Apa Agam terlalu marah padanya sehingga punya alasan untuk pindah? Agam berhasil membuat Mesha kebingungan dan panik.
"Kalau By nggak bohong. Mereka nggak akan menunggu dan membuat mood mereka rusak. By tahu, kan? Mama sama Papa belum bisa menerima By sampai saat ini? Setidaknya By bisa bersikap baik di depan mereka."
Dada Mesha butuh pelepasan. Ia sudah menangis, airnya membanjiri wajahnya dan bercampur dengan keringat panik, suhu tubuhnya memanas.
Mesha menggeleng kecil. Tak sepenuhnya ia bohong, kan? Apa Agam tak bisa mengerti posisinya? Mengapa Agam semarah ini?
"Abang sudah sering bilang, kalau ada masalah, cerita! Ngomong sama Abang! Bukan menghindar dan malah berbohong kayak gini! Lihat! Semua jadi kacau! Seandainya kamu menuruti apa kata Abang, Mama sama Papa nggak akan ada alasan buat nyalahin kamu dan membuat mereka semakin nggak akan pernah bisa nerima kamu. Ini akibat karena kamu membantah, Abang nggak suka, By!" Agam membentak kali ini.
Mesha sudah tidak kuat, gadis itu melelehkan air matanya semakin deras.
"Haaaahhh!" Agam frustrasi dengan masalah ini. Membuat orang tuanya menerima Mesha saja sesulit ini.
Agam menyerahkan piring ke pangkuan Mesha dan berdiri. "Kamu lanjutkan makan sendiri, Abang kecewa. Nanti Abang panggil Bang Agler ke sini. Abang keluar," pungkas Agam yang kemudian meninggalkan kamar Mesha.
Mesha menatap Agam dengan wajah yang sudah basah kuyup. Ia tak tahu, kenapa sesakit ini hanya karena melihat abangnya kecewa?
Seburuk itukah keputusannya untuk menghindar dari Rose dan Zack? Tapi Mesha melakukan ini karena ia takut terlalu lama berhadapan dengan mereka.
Dan sekarang Agam kecewa? Pindah? Mesha yakin semua hal di bawah Rose dan Zack bisa saja terjadi.
Tangis kerasnya pecah. Dadanya bergemuruh sesak.
🍁🍁🍁
Agam menutup pintu kamar Mesha. Dengan helaan napas lega, ia membalikkan badan. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan Agler yang bersandar di tembok lorong.
"Astaga!"
"Kenapa lo malah bikin By nangis?" Agler memusatkan mata menantang Agam.
Temanggung, 11 Maret 2021
-Ara
![](https://img.wattpad.com/cover/258835065-288-k458028.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Brother (Sudah Terbit)
Roman pour Adolescents[Sudah tamat] Bayi mungil yang diasuh keluarga Mafia. Hidupnya nyaris sempurna meski hanya dengan pelukan kedua kakak kembarnya. Bhymesha Auri Shenata ditakdirkan untuk mengejar kebahagiaan, cinta, harga diri, dan keluarga. Mesha berada di posisi s...