Prrrank!!!!!
Suara kaca pecah membuat Lana–perawat pribadi Riana bergegas mendekati kamar majikannya.
Lana melihat Riana yang terduduk di lantai dengan kaca pecah tak jauh darinya. "Nyonya!"
Lana membantu Riana berdiri dan duduk di kasur. Wajah Riana tampak lebih pucat dari sebelumnya, kantung matanya hampir jatuh dengan pandangan kosong yang menatap ke segala arah.
"Nyonya … Nyonya tidak apa-apa, kan?" Lana memastikan majikannya tak terluka.
"Tidak, Lana. Terima kasih," Riana memposisikan tubuhnya yang lemas agar nyaman untuk bersandar di atas ranjangnya.
"Kita ke dokter ya, Nyonya? Ehm … Tuan tidak perlu tahu, saya yang akan bawa Nyonya ke dokter, bagaimana?" Lana yang tidak tega melihat kondisi Riana yang terlihat semakin kurus itu hampir menangis.
Perawat 38 tahun itu memang setia bersama Riana selama ini. Wanita itu tahu, bagaimana Riana menutupi masalah ini dari Hanzel serapat mungkin. Tapi melihat efek samping dari penyakitnya, ini tidak akan bertahan lama, Hanzel pasti akan tahu.
"Tidak perlu Lana, di mana morfin-ku? Aku akan meminumnya saja," kilah Riana sambil mencari obat pereda nyerinya.
"Nyonya tidak mungkin akan terus menggunakan obat itu, efek sampingnya terlalu berisiko. Apalagi, akhir-akhir ini Nyonya sering menggunakannya. Saya tidak akan membiarkan hal itu, Nyonya. Sebagai perawat, bukan sebagai Lana, saya memperingatkan Anda, untuk tidak mengonsumsinya lagi!" tegas Lana mencegah Riana mengambil obat itu dari dalam laci.
"Kamu ini bicara apa, Lana? Kamu tahu, akhir-akhir ini rasa sakitnya sering kambuh. Makanya aku minum, bukan karena ini analgesik narkotika opiate, aku tidak pernah berniat menggunakannya untuk menemukan ketenangan semata. Kalau aku tak meminumnya sekarang, Mark akan segera pulang, dan dia akan menemukanku dalam keadaan seperti ini," Riana mencoba meminta pengertian dari Lana.
Perawatnya itu menggeleng.
"Ku mohon, Lana. Aku tak ingin mengecewakan dan membuat Mark khawatir padaku. Sebentar lagi masa pencalonannya di kursi pemerintahan. Sangat jelas ia membutuhkan dukungan saat ini. Kalau aku terlihat sakit sedikit saja, bisa membuat Mark teralihkan!" Kini Riana yang menangis, perempuan lemah itu memegangi pinggangnya yang terus beraksi sakit.
Lana menelan ludahnya, tak tega pula jika ia melihat Riana seperti ini. Ia melepas tangannya dari gagang rak laci, membiarkan Riana mengambil obatnya.
"Lebih baik, kamu bantu aku siapkan air mandi untukku, aku harus tampil segar di depan Mark. Bukan begitu, Lana?" pinta Riana dengan senyumannya.
Lana mengangguk, ia meninggalkan Riana di sana, menenggak obatnya yang kemudian wajahnya terlihat lega.
🍁🍁🍁
"Tuan Hanzel?"
Mark berhenti di tengah lorong kantornya. Seorang sekretaris, menyodorkan ponsel dengan panggilan yang tengah berlangsung.
"Ada telepon dari Steve, Pak."
Mark mengambil ponselnya dan mendekatkan benda pipih itu ke telinga. Tak lama wajahnya berubah senang.
"Bagus. Kerjakan tugasmu dengan baik," tutupnya dengan puas.
Ia kembali berjalan ke ruangannya. Di kelilingi kejayaan dan kekuasaan. Mark masih belum merasa cukup jika roda pemerintahan pun belum bisa ia pegang.
Kalender lipat di atas mejanya, menarik perhatiannya sejenak. Sebuah tanggal yang diberi tanda lingkar hitam, akan menjadi awal baginya memasuki dunia perpolitikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Brother (Sudah Terbit)
Teen Fiction[Sudah tamat] Bayi mungil yang diasuh keluarga Mafia. Hidupnya nyaris sempurna meski hanya dengan pelukan kedua kakak kembarnya. Bhymesha Auri Shenata ditakdirkan untuk mengejar kebahagiaan, cinta, harga diri, dan keluarga. Mesha berada di posisi s...