Twins Brother : 11

1.1K 60 4
                                    

"Kapan kita bakalan diskusi bareng?"

Jujur, Rey terkejut mendengarnya. Biasanya gadis itu kurang inisiatif untuk berbicara dengannya. Selalu ia yang memulai. Tapi melihat tatapan Mesha padanya, Rey memiringkan kepala sambil berpikir panjang.

Satu langkah,

Dua langkah,

Tiga langkah,

"Ehm, kapan, ya? Terse–"

"Besok," potong Mesha tak terbantah. Rey mengapung dalam pikirannya sendiri, secepat itu Mesha memutuskan akan belajar bersama besok, ia pikir Mesha akan perlu menyiapkan jauh-jauh hari setelah esok itu diputuskan.

Tapi rasa geli menjalar di dada Rey, mata Mesha yang menatapnya intens, mengunci semua indra Rey. Hanya desiran kecil di perutnya yang terasa bergerak dari tubuhnya.

"Oh? O–oke," Rey menipiskan bibir membentuk senyuman.

Mesha mengangguk setelah memutuskan pandangannya. Gadis itu berjalan lebih dulu setelah melambai kecil pada Rey. Aneh memang, tapi Mesha butuh Rey di kubunya saat ini. Karena …

🍁🍁🍁

"Baik, besok Agler jemput Mama sama Papa." Agler berdiri di depan jendela, memandang keluar ke halaman rumahnya yang luas.

"Tidak apa. Jadwal Agler kebetulan sedang kosong. Baik, iya, selamat menikmati perjalanan Mah, sampaikan salam Agler pada Papa. Iya … sampai bertemu," tutup Agler mengakhiri panggilannya.

Ia menatap rimbun daun yang saling bergesekan di seberang sana. Tiga tahun ini, orang tuanya tidak kembali. Dan tepat besok, mereka akan kembali ke negara ini untuk melihat semuanya.

Melihat usaha Agler selama hampir 10 tahun ini tak ada kemajuan pesat. Memang merayap bak ular kekenyangan. Sulit dan terkadang diam tanpa melakukan apapun.

Ah, Agler lupa memberitahu adiknya itu. Adik kesayangannya perlu tahu bahwa Tuan dan Nyonya Shenata akan segera kembali besok.

Dengan helaan napasnya, ia berharap Mesha bisa terlihat lebih baik di depan orang tuanya besok. Ia berencana untuk mengajak adiknya menjemput sang Mama dan Papa di bandara.

"By? Masih waktu istirahat, kan?" Agler mengulum bibirnya.

"Ya, sebentar lagi bel bunyi. Ada apa Abang nelpon?"

"Tidak. Hanya saja, Abang mau minta waktu By besok pagi … sebelum berangkat sekolah, kita ke bandara. Jemput Mama sama Papa," Agler duduk di kursinya.

"Ha? Besok pagi? Ehm … " Mesha terdengar berpikir sekarang.

"Iya. Nanti, nanti kita bicarain di rumah aja, Abang cuma mau ngabarin kalau mereka akan pulang besok."

🍁🍁🍁

Decitan engsel pintu menandakan pintu akan segera terbuka.

Mesha baru saja pulang sekolah, ia buru-buru berjalan ke kamarnya, sebelum akhirnya suara bass seseorang membuatnya berhenti melangkah.

"By?" Agler sudah menanti di ruang keluarga. Melihat adiknya, ia tersenyum kemudian menepuk sofa hitam di sampingnya agar Mesha duduk di sana.

Mesha berniat menghindar. Perasaannya selalu sensitif ketika harus membahas Tuan dan Nyonya Shenata. Terlebih perasaan tenangnya selama tiga tahun ini harus berakhir besok.

"Gimana sekolahnya?" Agler merangkul Mesha setelah gadis itu duduk di dekatnya.

Mesha mengangguk dalam diam. Tidak biasa sebenarnya. Agler yang menangkap cepat respon adiknya itu, segera mengusap puncak kepala Mesha kemudian mengecupnya pelan.

"Abang yakin, mereka akan tetap baik sama By. Kita bisa lihat perlakuan mereka ke By terakhir mereka ke sini, kan? Abang seneng banget! Akhirnya Mama sana Papa bisa membuka hati buat By!"

Salah. Bukan seperti itu faktanya. Justru perlakuan terakhir mereka pada Mesha-lah yang membuat gadis itu terus kepikiran seharian ini.

Tiga tahun lalu,

Rose mengetuk sebuah pintu kamar di setengah senja. Gaya anggunnya tak pernah lepas dari dirinya, meski di depannya saat ini adalah kamar milik orang yang paling tidak ia sukai.

Rose tidak menyukai Mesha, sama seperti ia tak menyukai debu yang menempel di atas kubah cincin berlian miliknya. Sangat mengganggu dan patut disingkirkan.

Sejak kedatangan Mesha di keluarga mereka. Rose tidak pernah terima. Ia merasa dihina karena memang ia tak mau hamil lagi setelah melahirkan dua anak kembarnya sekaligus. Sementara sang mertua meminta cucu perempuan. Itu membuatnya berpandangan bahwa mertuanya sengaja memungut bayi di depan rumahnya, hanya untuk membuat Rose tersinggung.

Karena bayi itu juga, ia hampir dipermalukan di depan keluarga besarnya. Keluarga konglomerat-nya di Australia. Tapi dengan sigap, sang suami menyanggah bahwa Rose tidak perlu lagi memiliki keterkaitan dengan keluarga besar lamanya yang benar-benar memuakkan.

Memandang kehormatan hanya lewat bagaimana cara mendidik anak-anak mereka setelah menikah agar bisa saling bersaing di lingkar yang tak pernah bisa dimengerti orang biasa.

Dan Rose tidak akan pernah bisa mewujudkannya karena kedua putranya bahkan tak mau tinggal bersamanya, sekadar menjaga derajatnya di depan keluarga.

Karena bayi itu, mereka menolak hidup di Australia dan memilih tinggal bersama dengan sang Oma dan bayi pungut yang tidak jelas asalnya. Rose tidak akan pernah melupakan kehadiran Mesha dalam hidupnya.

Rose mendengar sahutan dari dalam kamar. Ia memutar knop pintu dan menemukan ruangan serba merah jambu dengan banyak ornamen kekanakan khas remaja putri.

Mesha yang tengah duduk di tengah ranjang, terlalu shock sampai ia tak bisa berdiri untuk menyambut sang Nyonya yang melenggang masuk ke dalam kamarnya.

"Nyo–nya?" Mesha terpaku. Selalu kehabisan kata dan sikap bila di depan wanita ini. Auranya yang kuat dengan tatapan benci.

"Aku datang ke sini, hanya untuk melihat cucu dan adik kesayangan mereka. Pemalas dan terlalu mencerminkan orang asing," sungut Rose sudah lama menahan.

Orang asing. Begitulah Rose menyebut Mesha dalam status keluarga ini.

"Aku heran. Apa yang membuat kedua putraku sampai menolak hidup bersamaku di Australia seperti yang seharusnya, tapi malah memilih hidup di sini, di negara yang tak semaju Ausi. Di tempat kuno bersama Oma mereka dan anak pungut keluarga Shenata … "

Tentu saja Mesha tak bisa berbuat apa-apa. Ia tertunduk dengan kaku.

" Seandainya kamu mendengar apa pandangan mereka tentangmu di sana, akan kuberitahu … lebih tajam dan menukik. Sampai aku yang selalu dicemooh karena kehadiranmu sejak 13 tahun lalu dan bertahan sampai hari ini. Kamu tahu? Aku sangat membencimu!"

Teriris sangat dalam. Mesha selalu sesak mendengar apapun yang dilontarkan wanita bergaya Barat di depannya itu.

"Kalau bukan gara-gara kamu. Aku tidak akan pernah disudutkan dan membuat namaku dalam catatan keluarga besarku tercoreng!"

Tangan Rose bergerak cepat menarik rambut Mesha ke belakang. Menjambaknya dengan kuat sampai pekikan Mesha tertahan.

"Nyo–Nyonya! Aaagghh!" Kepalanya sampai berdenyut karena akar rambutnya serasa akan tercabut.

"Kau ini memalukan!" bentak Rose tak memperingan jambakannya.

"Apa yang kau katakan untuk merayu putraku sampai mereka memilih hidup di sini, hah?!"

Temanggung, 4 Maret 2021
-Ara



Twins Brother (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang