"Siapa kamu?"
Sandra terkejut melihat seorang wanita berpakaian ART menegurnya.
"Oh, maaf!" Sandra membungkuk meminta maaf. Wanita tadi keluar dari dalam gerbang sambil membawa kantong sampahnya.
"Ada perlu apa, Nyonya?" tanya wanita itu setelah meletakkan kantong sampah di tempat sampah.
Sandra mengatur napasnya agar lebih tenang. "Saya penghuni baru di komplek ini, jadi, saya berkeliling di sekitar sini," jawab Sandra menampilkan senyum ramah.
Wajah kulit sawo matang pembantu itu berubah lebih santai. Tak setegang saat melihat Sandra yang bertingkah aneh di depan rumah majikannya.
"Mm … boleh saya bertanya padamu?" Masih mengangkat senyum, Sandra mempertimbangkan pertanyaan yang akan ia lontarkan.
"Silakan, Nyonya," respon ART itu dengan ramah.
Sandra semakin bersemangat, ia melangkah mendekati ART itu. "Apa di rumah majikanmu ada anak perempuan usia 16 atau 17 tahun?"
ART itu terhenyak mendengar pertanyaan Sandra yang terasa terlalu pribadi. Tapi kenyataan di rumah majikannya yang memang tak ada anak yang dimaksud Sandra, ia pun menggeleng, "Ehm, tidak ada Nyonya."
Kecewa. Sedikit kecewa, Sandra harus lebih bersabar saat ini. "Ah, baiklah. Terima kasih, maaf sudah mengangggu waktu kerjamu," tutur Sandra berterima kasih.
ART itu sedikit penasaran mengapa Sandra menanyakan hal seperti itu, sebelum langkah Sandra terwujud, ia memanggil Sandra untuk bertanya.
"Maaf, Nyonya. Kalau boleh tahu, kenapa Nyonya menanyakan hal itu. Apa ada seseorang yang Nyonya cari?"
Sandra membalikkan badan, wajah sungkannya terlihat di sana. Tapi tak lama, wajahnya berubah seperti sedia kala, ketika ia mengingat sesuatu.
"Oh! Apakah kamu mengenal seorang wanita yang bernama … Widura?" Alis Sandra terangkat ke atas, ia melihat dengan jelas perubahan mimik wajah ART di depannya yang menegang.
"Wi–Widura?" tanya wanita yang sepertinya mengetahui nama itu.
"Ya! Apa kamu kenal? Saya sedang mencarinya," tegas Sandra mendesak wanita itu.
ART berwajah bulat itu kemudian mengangguk. Batin Sandra benar-benar terlonjak senang karenanya.
"Tidak, saya tidak mengenalnya secara langsung … " Sandra memperhatikan kata-kata ART itu, "saya hanya mengetahui namanya. Tapi saya kenal dengan salah satu asisten rumah tangga di sana. Kami sering bertemu di pasar saat berbelanja. Dan saya mendengar nama majikannya bernama Widura."
🍁🍁🍁
Makan malam keluarga Shenata,
Dengan posisi duduk tegap dan nampak tenang, begitu nyaman untuk mereka yang ada di depan meja, kecuali Mesha yang masih merasa bersalah.
"Mama mau kalian tinggal di Ausi," Rose membuka suara lebih dulu. Agam dan Agler yang dimaksudnya pun mendongak menatap ibunya dengan heran.
"Kamu bicara apa, Rose?" Widura menggeleng lelah.
"Apa salahnya kalau Rose minta mereka ke Ausi? Ibu kalau mau ke sana, kalian bisa pindah segera. Ibu hanya ke sana setahun sekali untuk ziarah ke makam mendiang Ayah, kalau Ibu tinggal di sana, Ibu bisa setiap hari mengurus makam Ayah," Rose menaruh sepasang sendoknya di atas piring.
Widura menatap jengah pada menantunya itu, "Ibu tinggal di sini, juga karena wasiat Ayahkamu. Sudahlah, kalian juga sudah sepakat soal ini. Kenapa kalian masih mau membujuk anak kalian tinggal bersama?"
Hampir semua orang mendesah kecil dengan kompak. Hanya Rose yang merasa hal ini perlu diluruskan kembali, wanita itu memusatkan perhatiannya pada Mesha yang juga mendesah kecil.
"Kamu kenapa, By? Tidak suka kalau aku minta Abang kamu pindah dari sini?" Rose menatap sinis ke arah Mesha yang menatapnya dengan terkejut. Seolah hanya Mesha yang menyindirnya dengan desah jengah.
"Tidak, Nyonya," lirih Mesha.
Ada hari di mana gadis itu hampir tidak bicara sepanjang hari di dalam rumah itu, dan tahun ini, jatuh lebih cepat dari dugaan Mesha. Ia benar-benar kehabisan gaya untuk berinteraksi lebih di dalam rumah ketika Rose dan Zack ada di rumahnya.
"Mah!" Agam sudah tak tahan. Rose menaikkan alisnya menatap putranya, "Kenapa?"
"Maaf, Mah. Tapi apa Mama bisa sedikit bersikap baik sama By? Mama ubah sikap Mama ke By, setidaknya jangan selalu menyalahkan By!" Agam mengeratkan jemarinya di atas meja. Ia tak tahan meski memang By salah hari ini. Ia tetap tak tega melihat adiknya sepanjang sore hanya menunduk bersalah dan ketakutan.
Brakk!!
Zack menggebrak meja hingga semua orang di sana hampir sama-sama terkejut.
"Agam?! Jaga nada bicaramu pada Mamamu. Kami memang tidak bisa mengawasi dan mendidik kalian secara langsung, di sini. Tapi bukan berarti menggeram di depan orang tua kalian seperti ini, jauh tidak lebih baik dalam bersikap!" kelakar Zack menengahi perdebatan.
Agler menepuk punggung Agam menegur. "Udah, tahan emosi lo," bisik Agler menenangkan Agam. Agam menunduk tak bisa berbuat banyak.
Sreg!
Kursi Mesha bergeser mundur, gadis itu berdiri dengan wajah masih tertunduk.
"Maaf, By sudah selesai. By izin ke kamar, permisi," Mesha menyembunyikan ekspresi wajahnya di balik rambut yang tergerai ke depan. Semua orang menatapnya.
Gadis itu berbalik dan berjalan cepat menuju tangga tanpa menunggu orang di sana berkomentar lagi.
Agam terdiam dengan emosinya. Ia paham adiknya tengah menghindar. Agam harus segera meluruskan ini dengan cepat.
Ia menoleh ke arah Widura, berniat pamit dari meja makan, setelah mengambil piring Mesha yang belum tersentuh makanannya. Laki-laki itu tahu, Mesha bahkan belum menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.
"Agam permisi,"
Rose membuang napas tak percaya, "Dia sudah bersikap tidak baik, dan sekarang membuat Agam meninggalkan meja makan di depan kami? Di mana sopan santun keluarga ini?!" protes Rose.
"Sudahlah! Ibu juga mau istirahat! Kalian merusak makan malam Ibu!" timpal Widura yang tiba-tiba kehilangan nafsu makan.
Widura juga beranjak, sudah lelah dengan drama Rose hari ini. Agler dengan sigap membantu Widura kembali ke kamarnya.
"Agled bantu, Oma."
Meja makan itu kosong dengan cepat. Makan malam yang seharusnya tenang dan menjadi momen indah untuk saling menukar rindu, berubah jadi tegang dan semua orang kehilangan nafsu makan mereka.
"Zackie? Apa aku salah? Aku hanya menawarkan anak-anak kita untuk tinggal bersama dengan kita, mereka sudah cukup dewasa untuk itu. Tapi mereka justru masih mau merepotkan Ibu dengan tinggal di rumah ini? Apalagi anak pungut itu, sok-sokan keluar dari meja makan, dan membuat makan malam keluarga ini jadi berantakan. Memang kebanyakan drama anak itu!" gerutu Rose yang sepertinya juga telah kehilangan nafsu makan.
Zack yang memimpin makan malam juga merasa lelah dengan masalah keluarga ini. Tapi ia tak bisa menyalahkan sang istri, karena ia tahu hidupnya sudah cukup tertekan karena anak mereka menolak hidup bersama.
"Kamu tidak salah, Sayang. Dari dulu aku tidak pernah setuju Ibu mengadopsi anak pungut itu. Seandainya dia tidak ada di rumah ini, keluarga ini akan baik-baik saja."
Temanggung, 11 Maret 2021
-Ara
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Brother (Sudah Terbit)
Roman pour Adolescents[Sudah tamat] Bayi mungil yang diasuh keluarga Mafia. Hidupnya nyaris sempurna meski hanya dengan pelukan kedua kakak kembarnya. Bhymesha Auri Shenata ditakdirkan untuk mengejar kebahagiaan, cinta, harga diri, dan keluarga. Mesha berada di posisi s...