Agam menghela napas panjang. Seperti ada beban besar yang baru saja ia lepas.
"Gue nanya, kenapa?" Agler memposisikan diri berdiri dengan tegap. Bisa-bisanya Agam membuat Mesha menangis, padahal ia juga tahu kalau Mesha butuh dukungan, bukan malah disudutkan seperti ini.
"Haaah, gue tuh niatnya cuma mau bikin By lega. Gue tahu dari semalam, By nggak bisa nangis. Kayak ada hal besar yang buat By cuma bisa sedih nggak bisa nangis," singgah Agam dengan wajah ditekuk.
"Hah? Lucu, lo. Tapi nggak gini caranya. Ngapain juga lo bilang mau pindah segala? Lo tahu kalau By udah terlalu nahan karena sikap Mama sama Papa hari ini yang terus menyudutkan dia?" Agler belum paham maksud Agam.
"Gue cuma mau ngingetin, kalau apapun yang diawali dengan berbohong, nggak akan pernah ada hasil yang baik," Agam berkacak pinggang dengan gelengannya.
Agler terdiam mendengar jawaban Agam. Tak lama senyumannya terbit. Ternyata Agam bisa berpikir sejauh ini, biasanya adiknya itu hanya bisa bersikap bodoh dan tergesa-gesa. Agler menepuk pundak Agam dengan bangga.
"Hebat lo, gue aja nggak mikir sampe sana. Lo Abang yang baik," puji Agler sembari mengacungkan jempol di depan wajah Agam.
"Ah udahlah! Besok lo harus traktir gue, nggak kuat liat By tadi, gue yang nyesek! Haaahhggh! Rasanya pengen ikutan nangis!" Agam menepuk dadanya menguatkan diri sendiri.
Ternyata, sedari tadi laki-laki itu menahan rasa tak tega yang besar.
Agler tertawa, "Hahahaha, oke! Bisa dewasa juga ya, lo!"
"Udah! Lo tenangin By dulu sono, ah! Gue nggak tega denger dia nangis!" pekik Agam dengan berjalan meninggalkan lorong kamar Mesha.
Agler menggeleng dengan tawanya. Melihat punggung Agam yang menghilang, laki-laki itu beralih menatap pintu kamar Mesha, dan membukanya perlahan.
"Huhuhuhuhu! Hiks! Huwaggghhh … " Mesha terlihat sangat menyesal. Gadis itu menangis di bawah redaman bantal yang ia peluk.
Agler paham betul posisi anak itu, ia bersandar di daun pintu sembari menunggu Mesha selesai menangis.
5 menit, 10 menit, 15 menit.
Gadis itu sudah sampai di ujungnya. Agler berjalan mendekat, membuat Mesha sedikit terkejut dengan keberadaan Agler di kamarnya.
Sesenggukkannya masih terdengar jelas. Agler berjongkok di depan Mesha, menangkup tangan adiknya tanpa ada kata-kata.
Mesha mengamati wajah Agler dengan air mata yang sudah berhenti mengalir. Bulirannya tertangkap oleh jemari Agler.
"By nggak main, Abang … " Mesha menggeleng.
"By nggak ada maksud mau bohong," Gelengannya semakin kuat.
"By nggak mau Abang pindah," Mesha kembali menangis. "By nggak mau Abang marah … "
Agler mengusap pipi adiknya dengan penuh rasa. "Iya."
"Maafin By," Tubuh Mesha sampai bergetar.
"Lain kali jangan bohong sama Abang. Apalagi By pergi nggak izin. Kalau By kenapa-napa, gimana? Abang sama Oma yang akan sedih," Agler membersihkan sisa air mata Mesha di ujung pelupuk mata dan mencium punggung tangan Mesha.
Mesha menggeleng, "By nggak main,"
"Cerita. Cerita sama Abang, kalau By menghindar, By nggak akan nemu jalan."
Mesha menarik napasnya, dan mencoba menjelaskan mengapa ia memilih pergi sedari siang ini.
Agler tersenyum dengan lembut, ia meraih kepala adiknya dan duduk di samping Mesha memberikan pelukan. "Makasih ceritanya. Kalau gini, Abang jadi tahu harus gimana, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Brother (Sudah Terbit)
Teen Fiction[Sudah tamat] Bayi mungil yang diasuh keluarga Mafia. Hidupnya nyaris sempurna meski hanya dengan pelukan kedua kakak kembarnya. Bhymesha Auri Shenata ditakdirkan untuk mengejar kebahagiaan, cinta, harga diri, dan keluarga. Mesha berada di posisi s...