Twins Brother : 08

1.3K 84 1
                                    

Aroma tubuh Rey masih menempel di hidung Mesha meskipun saat ini Rey sudah tak berada di koridor itu. Mesha mematung di tempat, ia menunduk sambil mengangkat tangannya ke udara.

Membuka telapak tangannya dan menemukan sobekan kertas berisi angka di atasnya.

Mesha membuang napas cepat. Ia kembali berjalan setelah memasukkan kertas itu ke dalam saku celananya.

🍁🍁🍁

Tiga hari lagi.

Itu adalah penentuan hari di mana Sandra harus ke pengadilan untuk memproses perceraiannya. Ia tak bisa tidur beberapa hari ini. Rasanya putus asa dan tak ada harapan.

Langkahnya yang amat pelan, telah menuntunnya ke sebuah bangunan berhalaman luas, mirip sebuah rumah.

Rumah yang hampir selama masa pernikahannya ia datangi tiap hari. Berharap, gerbangnya akan terbuka dan ada seorang anak remaja yang berlari keluar sembari memanggil  'Mama' padanya.

Ya, pasti anaknya seusia remaja cantik yang duduk di bangku SMA. Sandra sesenggukan di depan gerbang yang tertutup itu.

Lebih dari 15 tahun, Sandra terjebak di sana. Tak ada kemajuan, tak ada petunjuk, tak ada hasil. Bahkan jejak pun Sandra tak tahu.

Ia sudah mencoba meminta bantuan pada suaminya untuk memberikan fasilitas penyelidikan untuk mencari anak mereka. Tapi apa yang dikatakan Mark di malam pertama mereka menikah?

"Apa kamu bilang?!"

"A-ku telah membuang anak i-itu … " Sandra terduduk lemas di atas lantai. Mark baru saja mendorongnya.

" Apa?!  Ka-kamu membuang anak itu?" Mark tak habis pikir dengan gadis muda di depannya. Dengan deraian air matanya, gadis itu mengatakan bahwa ia telah membuang anak mereka.

"A-aku akan mengam-mengambilnya besok, aku minta maaf … "

Mark menggebrak meja di sampingnya. Sandra sampai terlonjak karenanya.

"Kamu pikir anak itu barang?! Kamu buang?! Kenapa?!"

Sandra membungkam dalam erangan sakit di pipinya. Semuanya terasa nyata sekarang. Tamparan itu membuatnya sadar, bahwa ia telah salah memilih jalan.

"Kamu bilang dia anakku?  Tapi kenapa kamu membuangnya?! Bukankah kamu Ibunya?" Mark frustrasi sekarang.

Ia telah meluangkan waktu sibuknya untuk mengurus pernikahan sirri-nya dan melayani gadis tak tahu dari mana yang mengaku telah mengandung anaknya. Tapi apa yang sekarang Mark dengar? Gadis itu justru membuangnya seperti barang tak berguna.

Sandra menggeleng kuat sambil mencengkeram batang besi gerbang di depannya. Ia mengaku salah, ia mengaku menyesal.

"Kamu di mana, Nak?" sesaknya sambil menahan tangis.

Di seberang jalan, seorang wanita tua dengan belanjaannya mengamati Sandra dari kejauhan. Mempekakan telinga mendengar sayup tangis Sandra.

Ia tersentuh dengan rasa penasaran. Wanita berdaster itu melangkah mendekati Sandra, melihatnya dengan intens.

"Nyonya? Nyonya kenapa?" cuatnya berada dalam jarak dekat dengan Sandra.

Sandra menoleh dengan cepat, mengetahui ada orang di sana, lekas Sandra mengusap air matanya dengan cepat sambil menggeleng.

"Ah, tidak apa-apa, Bu. Saya permisi," Sandra buru-buru membalikkan badan.

"Kenapa setiap saya lewat sini, Nyonya berdiri di depan gerbang ini? Apakah Nyonya sedang mencari seseorang? Bukan hanya sekali dua kali, Nyonya. Hampir selama ini Nyonya terus mengamati rumah ini, apa ada masalah, Nyonya?" Wanita itu tak membiarkan Sandra pergi begitu saja.

Sandra membeku di tempat, ternyata ada orang yang melihatnya melakukan ini selama ini.

"Saya Narti. Saya memang tidak tinggal di sini, tapi satu minggu tiap bulan, saya mendiami rumah kecil di ujung komplek ini. Dan setiap itu pula, saya melihat Nyonya."

Sandra mengurungkan niat untuk pergi. Dengan menuruti kata hatinya, Sandra mengubah arah pandangnya, melihat sepasang mata wanita yang bernama Narti dengan tanda tanya.

"Saya hanya kebetulan tinggal di sini dan pulang melewati rumah ini," terang Sandra dengan senyum tipisnya.

"Lalu mengapa Nyonya selalu menangis di tempat ini?" tembak Narti.

Sandra berkelit. Ia menunduk, berpikir agar apa yang selama ini ia simpan sendiri, tetap menjadi seperti ini. Hanya ia yang paham.

"Saya mantan asisten rumah tangga di rumah ini."

Dada Sandra berdesir. Dengan cepat, kilatan sorot mata itu membuatnya terkejut. Sandra kelu dalam diam.

"A-apa?"

Narti tersenyum singkat, "Kira-kira 16 tahun yang lalu, saya berhenti bekerja. 16 tahun itu pula, saya baru menyadari kalau Nyonya terlalu mencurigakan untuk berdiri dan bersikap aneh di depan rumah mantan majikan saya. Mungkin hari ini adalah waktu yang tepat untuk saya bertanya 'kenapa?'"

Pelupuk mata Sandra bergetar. Air matanya meluruh. Entah apapun yang dikatakan wanita di depannya itu, rasanya Sandra akan segera menemukan jawabannya.

"Ibu kenal dengan pemilik rumah ini?" tanya Sandra lirih.

"Saya pernah bekerja di sini, Nyonya." Narti menggarisbawahi kalimatnya.

Sandra merasakan denyutan mendebarkan itu, ia meraih tangan wanita di depannya dengan wajah tak percaya.

"Saya sedang mencari anak saya, anak perempuan yang saya tinggalkan di sini, di teras rumah ini 16 tahun yang lalu. Setiap hari saya ke sini untuk melihatnya dan berharap bisa membawanya pulang … hiks! Tapi saya kehilangan dia, saya kehilangan jejak pemilik rumah ini … "

Narti nampak terkejut dengan ungkapan Sandra. Mimik wajahnya berganti datar.

"Bisakah Ibu menolong saya? Beritahu saya, di mana anak itu sekarang? Di mana pemilik rumah ini?" Sandra menemukan cahayanya.

Narti tiba-tiba terbungkam. Apa ia sudah salah memberitahu rahasia bahwa ia sudah bekerja di sana kepada orang tak dikenal yang bisa saja memerasnya untuk mencari informasi mengenai keluarga Mafia yang pernah tinggal di rumah itu?

"Bu, saya mohon. Beritahu saya, di mana anak itu? Bukankah Ibu bertanya 'mengapa?' maka ini adalah jawaban saya. Saya berada di sini selama lebih dari 15 tahun hanya untuk tahu siapa dan di mana pemilik rumah ini." Sandra menggenggam kuat jemari Narti.

"Jadi Nyonya ini adalah Ibu dari bayi itu?" batin Narti menerka.

Tapi memberi informasi seperti ini, bukanlah kewenangannya. Ia diberi jaminan untuk itu.

"Maaf, Nyonya," Narti melepaskan diri dari sentuhan Sandra. "Saya tidak bisa membantu."

Sandra mengernyitkan Dahinya. Tidak, ia tidak boleh melepas begitu saja kesempatan untuk mengetahui jawabannya.

"Saya mohon, Bu. Ha-hanya beritahu saya siapa dan di mana pemilik rumah ini," paksa Sandra mengunci pandangan Narti hingga wanita itu tak bisa bergerak.

"Saya mohon. Sa-saya akan beri ibu uang. Sebutkan berapa untuk jawaban pertanyaan saya yang cukup mudah ini, Bu." Sandra benar-benar kehabisan cara. Ini adalah hari peruntungannya, ia  tak mungkin menyerah begitu saja.

"Saya tidak menjual informasi, Nyonya. Saya minta maaf, anggap saja, kita tidak pernah bertemu. Maaf telah bertanya sehingga membuat Nyonya berharap. Tapi saya benar-benar tidak bisa memberi informasi apapun pada Nyonya," Narti melangkah mundur.

"Saya putus asa, Bu!" pekik Sandra memang putus asa.

Narti terhenyak dengan perasaan iba. Ia berpikir sejenak, jika ia tetap mengatakan 'tidak', maka ia telah membuat wanita di depannya semakin sulit. Sudah cukup baginya untuk melihat perjuangan wanita yang tiap hari mendatangi rumah mantan majikannya.

"Nyonya Widura bersama cucu-cucunya pindah dari sini ke kota besar."

Temanggung, 28 Februari 2021
-Ara

Twins Brother (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang