Beberapa jam dalam perjalanan berhasil membuat Ara mengantuk hingga tanpa sadar tertidur dengan bahu Sunghee sebagai bantalan.
Taeyong yang melihat Sunghee berniat membangunkan Ara segera berbisik pelan. "Gak usah dibangunin nek, biar taeyong aja yang gendong."
Sunghee akhirnya mengurung niatnya, memilih menunggu Taeyong keluar dari kursi depan untuk menggendong Ara.
Namun sebelum Taeyong membuka pintu penumpang belakang, Ara lebih dulu mengerjap beberapa kali karena merasa mobil tak lagi berjalan.
"Hngg, ini udah nyampe ya nek?" Tanya Ara dengan suara serak khas bangun tidur.
"Iya udah sampe, turun yuk?" Ajak Sunghee. Ara mengangguk semangat, meregangkan otot-otot tubuhnya terlebih dahulu sebelum turun dari mobil.
"Papa gendonggg." Ara menyengir seraya merentangkan kedua tangannya ke hadapan Jaejoong.
Jaejoong mendengus gemas, mendekati Ara berniat membawa putrinya ke dalam gendongannya. Namun Taeyong bergerak lebih cepat dan menggendong Ara di punggungnya.
"Dasar," desis Jaejoong gemas.
Mereka kemudian berjalan santai menyusuri perkarangan rumah Jaejoong yang cukup luas.
"Wah rumah papa besar banget," celetuk Ara, matanya terus bergerak tak tentu arah menyusuri taman halaman depan yang terlihat cantik dengan bunga-bunga tertata rapih.
Jaejoong tersenyum tipis, lalu mengusak surai Ara gemas. "Kita masuk dulu ya, liat-liat bunganya 'kan bisa nanti lagi."
Walau dengan wajah merengut, Ara mengangguk menuruti ucapan sang ayah.
Setelah sampai di depan pintu, Ara dengan iseng menekan bel berkali-kali hingga mendapat teguran dari sang nenek. "Ara jangan dimainin gitu dong sayang, belnya."
"Hehe abis di rumah nenek gak ada belnya," keluh Ara disela cengiran lebarnya.
Pintu rumah besar itu tiba-tiba terbuka, menunjukkan BoA dengan dress biru dongker yang terlihat kusut tak beraturan, wajahnya sembab dan kantung matanya terlihat menghitam.
"Ara?" Desisan tajam yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu berhasil membuat Ara memeluk leher Taeyong erat karena takut.
Tatapan BoA kemudian beralih pada Jaejoong yang terlihat tenang, setelah melirik Sunghee sekilas. Seulas senyum sinis terukir di bibir pucatnya.
"Jadi karena anak dan wanita tua sialan ini kamu ninggalin aku selama satu bulan? Di mana akal sehat kamu jaejoong," geram BoA dengan tangan mengepal marah.
"Siapa yang kamu bilang anak dan wanita sialan, huh?"
"Kalau kamu lupa dia adalah ibu kamu, ibu yang melahirkan dan membesarkan kamu. Sementara yang kamu bilang anak sialan itu adalah anak yang lahir dari rahim kamu sendiri."
BoA mendecih pelan. "Aku gak pernah anggap wanita itu ibu aku setelah dia ambil seluruh perhatian kamu dari aku."
"Karena dua perempuan sialan ini, kamu jadi lupa sama aku! Kamu lupa sama istri kamu!"
"Kamu selalu memprioritaskan perempuan yang kamu bilang ibu dan anak kamu, tanpa mau tau kalau aku juga butuh perhatian dari kamu."
"AKU JUGA BUTUH PERHATIAN KAMU, JAEJOONG!"
Tangis BoA pecah, wanita itu memukul dada bidang Jaejoong berkali-kali, melampiaskan amarah yang selama ini ia pendam hingga melakukan hal yang sangat tidak pantas pada ibu dan putri kandungnya.
Taeyong terkekeh sinis. "Kalau mama masih punya akal sehat, mama bisa omongin berdua sama papa. Gak perlu bikin drama seolah nenek sakit keras dan meninggal padahal kenyataannya nenek sama sekali gak sakit apa-apa."
"Malsuin kematian nenek, secara gak langsung mama sendiri yang bikin hubungan mama sama papa renggang."
"Tiba-tiba nyuruh ara berhenti ngelakuin hobinya, dan maksa dia ngelakuin apa yang taeyong lakuin. Taeyong penasaran apa sebenernya mama juga sengaja mau bikin ara benci sama taeyong karena ngerasa taeyong lebih perhatian sama ara?"
BoA menggeram pelan. Ia menjauh dari tubuh Jaejoong, mengusap wajah basahnya dengan kasar lalu menatap Taeyong dengan mata memerah entah karena menangis atau menahan marah.
"IYA! MAMA SENGAJA BIKIN ARA BENCI SAMA KAMU, MAMA GAK SUKA KAMU DEKET DIA, SELALU JAILIN DIA, CARI PERHATIAN DIA SEOLAH MAMA GAK ADA!"
Taeyong menggeleng tidak percaya mendengar penuturan ibunya. "Stress."
Jaejoong menghela napas kasar, ia menatap istrinya dengan tegas. "Sekarang pilihan ada di tangan kamu. Kamu yang pergi dari rumah ini, atau kami yang pergi, karena surat cerai sudah diproses oleh pengadilan."
KAMU SEDANG MEMBACA
DISSIMILAR
Fiksi Penggemar"Maaf, tapi saya sudah tidak menginginkan kamu sejak kamu beranjak remaja." A wattpad story by ©aimmortelle_