11

7.3K 1.6K 469
                                    

BoA duduk di sebelah brankar Ara dengan kedua tangan bersidekap. Sudah hampir dua minggu sejak kabar kematian palsu gadis itu, dan Ara belum juga siuman.

Pintu ruangan VIP itu tiba-tiba terbuka, menunjukkan dokter Minhwa dengan jas dokter dan juga stetoskop yang melingkar di lehernya, seperti biasa.

Pria itu berjalan mendekati BoA untuk membicarakan kondisi Ara yang sudah mulai membaik. "Gimana?" Tanya BoA tanpa menatap dokter Minhwa yang berdiri di sebrangnya.

"Keadaannya sudah mulai membaik, kemungkinan Ara akan siuman sebentar lagi, atau paling lama dua hari lagi," jelas dokter Minhwa yang dibalas dengan anggukan singkat dari BoA.

Hingga selang beberapa menit, wanita paruh baya itu menyeringai puas ketika melihat kelopak mata Ara yang perlahan terbuka dan mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan matanya dengan cahaya ruangan.

"Kamu perlu sesuatu?" Tanya dokter Minhwa saat mendapati Ara hanya terdiam membisu.

"M-minum," cicit Ara dengan suara sangat pelan, dokter Minhwa dengan sigap membantu gadis itu untuk meneguk air putih yang tersedia di nakas sebelah brankar Ara.

"Ada bagian tubuh yang sakit?" Tanya dokter Minhwa lagi, kali ini seraya meletakkan stetoskop di dada kiri Ara untuk memeriksa detak jantung gadis itu.

"P-punggung," jawab Ara pelan.

Dokter Minhwa mengangguk paham, "itu terjadi karena kamu terlalu lama berbaring, bukan masalah besar."

Ara mengangguk, netranya kemudian beralih menatap BoA dengan tatapan bingung. "K-kamu siapa?"

BoA tersenyum puas, perkiraan dokter Minhwa sama sekali tak meleset. Ara benar-benar lupa ingatan.

"Kamu benar-benar tidak ingat dia siapa?" Tanya dokter Minhwa membuat Ara kembali menatapnya sebelum menggeleng pelan.

"Jadi? Kamu siapa?"

"Saya orang yang tidak sengaja menabrak kamu hingga kamu berada di sini. Maafkan saya, saya benar-benar menyesal," ucap BoA dengan kepala menunduk.

"A—eh nama aku siapa.." Gumam Ara, gadis itu kemudian mendesis lirih kala rasa nyeri mendera kepalanya ketika ia tengah berusaha mengingat namanya.

"Ara, nama kamu Chayara. Maaf karena saya kamu harus kehilangan sebagian ingatanmu," ucap BoA.

"Gak apa-apa, buktinya Ara masih hidup kok," ucap Ara dengan senyum tulus yang terukir indah di wajahnya.

"Oh iya, kapan Ara bisa pulang.. eh rumah Ara di mana?" lirih Ara di akhir kalimat. "Saya tau alamat rumah kamu, mau saya antar pulang?"

BoA tersenyum puas ketika mendapat anggukan antusias dari gadis itu, "kapan dia bisa pulang, dok?"

"Mungkin beberapa minggu lagi, karena pasien masih harus melakukan pemulihan setelah koma selama tiga minggu," jelas dokter Minhwa yang membuat Ara mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa gak boleh sekarang? Ara udah sehat kok," ucap Ara yakin, ia berniat beranjak duduk untuk membuktikan ucapannya. Namun urung saat merasa ada yang aneh pada kakinya.

"K-kaki Ara kenapa gak bisa digerakkin?" Tanya Ara dengan mata berkaca-kaca, membuat dokter Minhwa menundukkan kepalanya.

"Kamu kecelakaan. Dan akibat benturan keras di kaki kamu, kamu mengalami kelumpuhan," ucap dokter Minhwa pelan, dan seketika tangis Ara pecah.

"Enggak! Ara gak mau lumpuh!" Teriak Ara seraya memukul-mukul kakinya, berharap dengan itu kakinya bisa kembali pulih.

"Maaf, semua sudah takdir Tuhan dan saya tidak bisa menyangkalnya," ujar dokter Minhwa penuh penyesalan.

Tangisan Ara melemah, gadis itu menyandarkan tubuhnya di ranjang dengan lemas.

"Maafkan saya," ucap BoA, membuat Ara kembali menoleh ke arah wanita paruh baya itu.

Ara mengusap wajahnya yang berderai air mata, ia menghela napas pelan. "Ara gak papa, e-emm.. tante. Tante tau orang tua Ara dimana?"

BoA menggeleng pelan, "saya tidak tau di mana orang tua kamu, tapi saat saya berkujung ke rumah kamu. Di sana hanya ada nenek kamu."

Ara mengerjap bingung, "nenek? Apa nenek baik-baik aja?"

"Nenek kamu baik-baik aja, dia gak bisa jenguk kamu karena kondisinya yang tidak terlalu memungkinkan untuk berpergian jarak jauh"

"Jarak jauh? Memang rumah Ara dimana, tante?"

Dalam hati, BoA mendecak. Gadis itu ternyata adalah anak yang cerewet, sangat berbanding terbalik sebelum ia lupa ingatan.

"Desa Namwon. Sudah, lebih baik kamu istirahat agar bisa pulang lebih cepat."

———

Beberapa minggu kemudian.

Setelah 3 jam dalam perjalanan, Ara dan BoA akhirnya sampai di salah satu rumah sederhana yang terletak di desa Namwon.

BoA mendorong kursi roda Ara ke depan pintu rumah tersebut, sebelum mengetuknya beberapa kali.

"Nenek" Panggil Ara ketika sang nenek tak kunjung membukakan pintu.

Tak lama kemudian pintu bercat putih itu terbuka, menunjukkan seorang wanita yang tak lagi muda.

"BoA? Ini benar kamu, nak?"

Sunghee—ibu kandung BoA—sontak memeluk putri semata wayangnya dengan erat. Sejahat apapun BoA padanya, tak dapat dipungkiri bahwa ia tetap menyayangi putri satu-satunya itu.

"Ara? Cucu nenek? Apa kabar sayang?" Tatapan Sunghee menajam ketika mendapati Ara yang terduduk di atas kursi roda, wanita itu lantas menatap BoA tajam.

"Kamu apakan cucu saya, BoA?" Tanya Sunghee dengan wajah merah menahan amarah, BoA terkekeh sinis ketika mendengar ucapan ibunya.

"Tidak jauh berbeda dengan yang saya lakukan pada anda," jawab BoA dengan santainya, membuat Sunghee memejamkan mata menahan rasa sesak di dadanya.

"Ara bisa masuk ke kamar dulu? Nenek masih ada urusan dengan wanita iblis ini."

Ara mengangguk, menuruti perintah sang nenek walau banyak pertanyaan yang bercabang di kepalanya. Mendorong roda di kursinya perlahan, kemudian memasuki salah satu ruangan yang tadi ditunjuk oleh sang nenek.

"Wanita iblis? Saya pernah menjadi putri kesayangan anda, kalau anda lupa," ejek BoA membuat Sunghee menggeram.

"Dulu, sebelum kelakuan bejatmu itu tidak bisa saya toleransi lagi." Sunghee menarik napasnya sejenak, ia tak mau emosinya terpancing begitu saja.

"Setelah memalsukan kematian saya dan membuang saya, sekarang kamu ingin membuang putri kandungmu juga?"

BoA terkekeh pelan.

"Tentu saja, karena kalian hanyalah barang bekas yang tidak berguna di hidup saya."




DISSIMILARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang