"Kalian siapa? Dan kenapa kamu mirip sama kakak aku.." Suara lirih Ara yang dapat didengar Taeyong dengan jelas, membuat tubuhnya menegang.
"Ini kakak, kak Taeyong. Kakaknya Ara," ucap Taeyong bertubi-tubi, ia bahkan sama sekali tak membiarkan Ara membuka suaranya.
Ara menggaruk kepalanya bingung, lantas menatap Taeyong dengan tatapan polosnya. "Ara udah boleh ngomong?"
Taeyong mengusap matanya yang berkaca-kaca, kekehan ringan yang terdengar membuat Ara semakin bingung.
"Ini Ara udah boleh ngomong belom sih.." Gumam Ara seraya menundukkan pandangannya ke arah nugget yang juga tengah menatapnya.
Taeyong tersenyum, kemudian berlutut di hadapan Ara. Menggenggam tangan mungil adiknya dengan hangat. "Ara udah boleh ngomong, mau ngomong apa hm?"
"I-itu.. k-kamu beneran kakaknya Ara? Kak Taeyong?" Tanya Ara, matanya menatap wajah Taeyong dengan tatapan menyelidik.
"Tapi memang mirip banget sama yang di album foto tadi.." Ara kembali bergumam tak jelas.
Sementara Ten yang sejak tadi berada di belakang Taeyong hanya terdiam mematung menatap Ara dengan tatapan kosong.
Taeyong mengusap punggung tangan Ara yang berada dalam genggamannya. "Iya, ini Kak Taeyong. Kakaknya Ara."
Guk!
Suara gonggongan nyaring nugget, membuat sepasang kakak adik yang tengah melepas rindu melalui tatapan itu tersentak.
"Nugget gak boleh galak! Ini kakaknya Ara!" Ujar Ara sebal, Taeyong yang mendengar seruan galak adiknya sontak mendengus geli.
"Namanya nugget?" Tanya Taeyong seraya mengusap bulu lebat kecokelatan milik nugget.
Ara mengangguk semangat, tangannya ikut terulur mengelus kepala nugget dengan lembut.
"Ini anjingnya siapa, Ra?" Taeyong sedikit mendongak untuk menatap wajah Ara yang sedikit lebih tinggi karena gadis itu duduk di kursi roda.
"Anjing nenek, anjingnya Ara juga sih." Ara menggaruk dagunya, berpikir siapa pemilik nugget yang sebenarnya.
"Nenek? Nenek siapa?" Tangan Taeyong yang mengelus bulu nugget terhenti, seluruh perhatiannya kembali fokus pada Ara.
"Neneknya Ara, eh? Kalo neneknya Ara berarti neneknya kakak juga." Ara mengernyit melihat Taeyong yang kembali terdiam mematung.
"Ara selama ini tinggal sama nenek?" Ara mengangguk sebagai jawaban.
"Ara tau gak nama neneknya Ara siapa?" Tanya Taeyong sekali lagi, namun kali ini Ara menjawabnya dengan gelengan.
"Ara gak inget." Taeyong menghela napas, lalu beranjak berdiri. Menatap Ten yang sejak tadi hanya diam.
"Lo balik duluan aja, Ten. Gue masih harus ngurus masalah ini." Tanpa ada bantahan, Ten segera berbalik menuju rumah kepala desa dengan banyak pertanyaan di kepalanya.
"Kakak boleh ke rumah nenek? Sekalian anter Ara pulang, boleh ya?"
Ara mengangguk menyetujui, kemudian melepas tali yang terhubung dengan leher nugget yang terikat di pegangan kursi rodanya untuk ia genggam.
"Nugget ayo pulang!" Nugget menggonggong sekali sebelum berjalan mendahului Ara dan Taeyong.
"Ikutin nugget aja, kak. Dia udah hapal jalan pulang kok." Taeyong tersenyum geli, dalam hati ia sangat bersyukur karena kembali diberi kesempatan untuk bertemu dengan adik kecilnya.
———
"Nenek, Ara dan nugget pulang! Ara juga punya susurpris buat nenek." Ara berujar dengan lantang, membuat Sunghee yang berada di dapur keluar dengan terburu-buru karena mengira Ara terluka.
"Ya Tuhan, nenek kira kamu jatoh lagi kayak waktu itu." Sunghee mengusap kepala Ara lembut, sementara yang diomeli hanya menyengir tanpa dosa.
Sekitar tiga bulan yang lalu, Ara terjatuh dari kursi rodanya karena tersandung batu. Beruntung ada tetangga yang melihat dan segera menolongnya.
"Nenek, liat Ara bawa siapaaa." Ara menunjuk Taeyong yang terdiam kaku di belakangnya.
Sementara Sunghee yang melihat kedatangan cucu pertamanya juga tak kalah terkejut.
"Taeyong," panggil Sunghee lirih.
Taeyong melangkah mendekati neneknya, tubuhnya terlihat linglung karena tak menyangka akan kembali bertemu dengan dua keluarganya yang ia ketahui sudah tak ada.
"Nenek." Taeyong memeluk neneknya erat, menangis seperti anak kecil di dekapan Sunghee.
Membuat Ara yang melihat itu mengerucutkan bibirnya sebal, ia cemburu!
"Jangan lama-lama! Nenek punya Ara!" Ara menarik baju belakang Taeyong, membuat kakaknya itu segera melepas pelukannya.
"Nek, gimana bisa.." Taeyong tak sanggup melanjutkan kalimatnya karena lagi-lagi air mata menetes membasahi wajah tampannya.
"Masuk dulu, biar nenek jelasin."
Sunghee berjalan ke belakang kursi roda Ara, berniat mendorongnya ke dalam seperti yang biasa ia lakukan.
Namun Taeyong lebih dulu menahan pergerakan sang nenek, "biar Taeyong yang dorong."
Sunghee tersenyum hangat, kemudian membuka pintu rumahnya lebih lebar agar kursi roda Ara bisa masuk.
Setelah membantu Ara duduk di atas ranjangnya, Taeyong kembali keluar menemui Sunghee yang menunggunya di ruang tengah.
Sunghee yang menyadari tatapan Taeyong langsung menyeletuk pelan, "kalo mau ditanya, tanya aja. Nenek jawab."
Taeyong duduk di karpet, menyandarkan kepalanya di paha Sunghee yang duduk di atas sofa.
Seulas senyum tipis kembali terukir di bibir Taeyong, rasanya ia seperti kembali pada masa kecil di mana ia dan Ara akan berebut untuk mendapat perhatian dari Sunghee.
"Gimana bisa Ara ada di sini?" Tanya Taeyong seraya memejamkan matanya, menikmati elusan lembut dari sang nenek.
"Mama kamu yang anter Ara ke sini, dalam kondisi lumpuh dan lupa ingatan." Suara Sunghee memelan ketika mengucapkan kalimat terakhir.
"Jadi wanita itu malsuin kematian nenek dan Ara?" Tangan Taeyong mengepal, ia benar-benar tak menyangka ibunya berpikiran seperti ini.
"Iya, nenek juga gak ngerti BoA kenapa. Tapi kayaknya ada yang salah sama kesehatan mentalnya."
"Mau sakit mental sekalipun, kenapa bisa wanita itu ngebuang nenek dan Ara. Bahkan orang gila sekalipun akan ngelindungin anaknya kalau anaknya diejek orang lain."
Rahang Taeyong mengeras, kedua tangannya mengepal erat hingga menimbulkan urat-urat di punggung tangannya.
"Taeyong bahkan jijik kalo inget Taeyong lahir dari rahim wanita gila itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
DISSIMILAR
Fanfiction"Maaf, tapi saya sudah tidak menginginkan kamu sejak kamu beranjak remaja." A wattpad story by ©aimmortelle_