"Taeyong bahkan jijik kalo inget Taeyong lahir dari rahim wanita gila itu," ucap Taeyong dengan tangan mengepal erat, wajahnya bahkan memerah karena menahan amarah.
Sunghee tersentak, wanita itu kemudian mengusap surai Taeyong penuh pengertian. Senyum sendu terbit di bibirnya.
"Mau bagaimana pun BoA tetep ibu kamu dan Ara, ibu yang melahirkan dan membesarkan kalian sampe sekarang," ucap Sunghee membuat Taeyong sedikit melunak.
Taeyong lalu menunduk dengan raut menyesal. "Maaf, nek."
"Gak papa, nenek tau kamu pasti marah banget sama BoA. Apalagi tindakannya itu bukan tindakan yang bisa dibenarkan."
Taeyong mengangguk setuju, tak lama kemudian ia beranjak dari duduknya. "Nek, Taeyong keluar sebentar ya? Mau nelepon."
Sunghee mengangguk mengiyakan, ia juga kembali ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasak makan malamnya.
Sementara di luar, Taeyong menggigit bibir bawahnya cemas. Hingga suara berat milik sang ayah dari seberang sana membuatnya menghela napas lega.
"Halo, pa?"
"Iya, Taeyong. Kenapa telepon papa? Ada masalah?"
"Eum.. papa bisa nyusul Taeyong ke sini gak?"
"Kenapa? Kamu sakit? Atau ada masalah lain?"
Taeyong terkekeh pelan ketika mendengar pertanyaan khawatir terus keluar dari mulut sang ayah.
"Taeyong gak sakit kok, gak ada masalah juga. Tapi ada satu hal yang harus papa tau."
"Apa? Spill sekarang aja, papa penasaran."
"Taeyong gak bisa jelasin kalo lewat telepon, papa susul Taeyong aja bisa gak?"
"Okey, ini papa langsung otw. Perlu bawa baju gak?"
Taeyong mendengus geli mendengarnya, "terserah papa, tapi menurut Taeyong bawa aja satu atau dua pasang."
"Okey, papa berangkat. Oh iya, perlu ajak mama?"
Taeyong terdiam, ia bingung apakah BoA harus ikut dengan ayahnya atau tidak.
"Em.. ikut aja gak papa. Eh jangan deh."
"Jadi ikut apa enggak nih?"
"Gak usah deh, papa aja."
"Okey, tunggu papa ya. Awas aja kalo gak penting."
"Iya, paaa. Kalo gitu Taeyong tutup ya."
"Hm."
Taeyong memutus sambungan, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia kemudian mendongak menatap langit sore yang mulai menggelap.
———
Jam delapan malam, Taeyong mendapat telepon dari ayahnya yang mengatakan bahwa pria paruh baya itu sudah sampai di rumah kepala desa yang Taeyong tinggali sementara.
Taeyong yang mendengar itu segera pamit pada Sunghee—dan mengatakan akan kembali lagi nanti—untuk menjemput Jaejoong di rumah kepala desa.
"Pa," panggil Taeyong pada Jaejoong yang tengah berbincang dengan kepala desa.
"Kamu kemana malem-malem begini? Kata Pak Kangta kalo malem gak ada kegiatan apa-apa, keluyuran kemana kamu hah?" Omel Jaejoong panjang lebar, membuat Kangta yang mendengar itu segera pamit undur diri.
Tanpa membalas omelan sang ayah, Taeyong menarik pergelangan ayahnya, membawanya menuju rumah Sunghee. "Ayo ikut Taeyong."
Jaejoong mendengus kecil, ia merasa kembali ke masa lalu. Di mana Taeyong dan Ara akan berebutan menarik tangannya, mengajak bermain, dan bertengkar karena ia lebih fokus pada Ara atau sebaliknya.
"Nenek, Taeyong balik lagiii," ucap Taeyong seraya melengos masuk ke rumah Sunghee tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Jaejoong membelalak, lalu menarik kerah belakang pakaian Taeyong membuat putranya itu terlihat seperti anak kucing.
"Gak sopan banget main masuk rumah orang seenaknya! Permisi dulu atau apa gitu," tegur Jaejoong, sementara Taeyong hanya menyengir tanpa dosa.
"Papa lepasss," rengek Taeyong ketika sang ayah tak kunjung melepas cengkramannya pada kerah pakaian belakangnya.
Merasa diabaikan, Taeyong menoleh ke arah sang ayah yang ternyata tengah menatap lurus ke depan dengan tatapan terkejutnya.
Ia mengikuti arah pandang Jaejoong yang ternyata mengarah pada Ara yang tengah merengut—entah karena apa.
"A-ara.." Panggil Jaejoong lirih, cengkramannya pada kerah Taeyong mengendur.
Tanpa aba-aba, Jaejoong segera menghampiri Ara dan membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Persetan jika itu hanyalah khayalan atau hanya perempuan yang mirip dengan putrinya, Jaejoong hanya ingin melepas rasa rindunya yang teramat besar pada putrinya.
"Papa? Papa udah pulang? Mama mana?" Tanya Ara dengan polosnya, ia bahkan melupakan fakta bahwa ia tengah merajuk karena Taeyong pergi tanpa pamit padanya.
"P-papa? Kamu Ara? Chayara? Chayara gadis kecilnya papa?" Tanya Jaejoong tanpa jeda, matanya membelalak tak percaya.
Ara yang mendengar serangan pertanyaan itu hanya mengangguk pelan, ia bingung mengapa ayahnya harus seterkejut itu.
Tubuh Jaejoong melemas, ia menjatuhkan kepalanya di pundak Ara. Menangis pilu di sana.
Membuat Ara semakin kebingungan, "papa kenapa nangis? Karena kangen sama Ara ya?" Tanya Ara dengan senyum centilnya.
Jaejoong terkekeh, ia mengangkat kepalanya, mengusap air matanya. Kemudian mengecup seluruh bagian wajah putri kecilnya kecuali bibir.
"Papa kangen Ara, kangen banget. Papa mohon jangan pergi lagi.."
KAMU SEDANG MEMBACA
DISSIMILAR
Fanfiction"Maaf, tapi saya sudah tidak menginginkan kamu sejak kamu beranjak remaja." A wattpad story by ©aimmortelle_