Ara pov
Aku terbangun di sebuah ruangan dengan warna putih yang mendominasi, lantas mengerjap beberapa kali setelah sadar bahwa saat ini aku tengah berada di rumah sakit
"Dek? Kamu udah sadar?" Aku menatap Kak Taeyong yang duduk di kursi sebelah ranjangku dengan tatapan datar.
Sementara Kak Taeyong sibuk menggigit bibir bawahnya kuat. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang sangat kentara, entah karena apa.
Setelah berhasil menenangkan dirinya, Kak Taeyong duduk di sisi ranjangku dan mengusap punggung tanganku dengan sayang.
"Mana yang sakit? Bilang sama kakak."
"Ini." aku menunjuk dada bagian kiriku, di mana letak jantung berada. Membuat Kak Taeyong tertegun. "Dek.."
"Ini, bagian sini sakit." aku terisak lirih dengan kepala tertunduk, "bagian ini selalu sakit kalo ada yang bilang lo lebih unggul dari gue."
Tubuh Kak Taeyong menegang seiring dengan tangisanku yang kian mengencang, juga diikuti dengan bahuku yang bergetar hebat.
"Maaf.." Kak Taeyong berbisik lirih sebelum membawa tubuhku ke dalam dekapannya.
Namun aku lebih dulu mendorong tubuhnya untuk menjauh. Mengusap air mataku dengan kasar, lantas menatap pria yang berstatus sebagai kakakku itu dengan tatapan penuh benci.
"Lo gak pernah tau rasanya jadi gue, Kak. Dibandingin sama lo dari segi fisik, otak dan kemampuan."
"Iya, gue tau lo sempurna. Ganteng, tinggi, pinter, rajin ibadah, jago dance, jago nyanyi, jago rapp."
"Tapi apa pantes semua orang ngebandingin kita cuma karena gue gak bisa ngelakuin apa yang lo lakuin?"
"Apa pantes semua orang ngebandingin kita cuma karena skill ngedance kita yang beda? Kemampuan otak kita yang beda? Fisik kita yang beda?"
"Semua orang sayang lo, semua anggota keluarga kita sayang sama lo, semua anak kampus kenal dan suka sama lo."
"Gak, gua gak marah sama lo, gue gak marah sama mama-papa. Gue juga gak pernah iri sama lo yang selalu berhasil dapetin apa yang lo mau."
"Gue marah sama diri gue sendiri karena gak berhasil menuhin ekspektasi semua orang tentang siapapun yang jadi adeknya Taeyong itu harus sempurna kaya kakaknya."
"Gue capek, Kak. Gue capek terus dibandingin sama lo."
Aku menunduk, meremas selimut rumah sakit yang menutupi kaki hingga pinggangku dengan sangat erat.
"Gue tertekan hidup sama kalian.."
Pintu ruanganku terbuka dengan kasar, menunjukkan wajah kedua orang tuaku dengan raut berbeda.
Papa dengan wajah khawatirnya, sementara Mama dengan tatapan marah dan penuh bencinya.
"Udah puas cari perhatiannya?" Tanya Mama dengan senyum meremehkan.
"Gak bisa banget ya—"
"Kayak Kakak yang diem di rumah, belajar, ikut banyak organisasi, dikenal semua orang dengan pandangan positif." aku memotong ucapan Mama dengan kata-kata mutiara yang selalu ia ucapkan ketika aku pulang telat atau membuat ulah.
"Ma, aku mati aja deh ya?" Aku terkekeh miris ketika melihat Mama yang seolah tak peduli dengan ucapanku.
"Silahkan, kamu hidup juga cuma bisa bikin mama dan papa malu doang," ucap Mama dengan santainya, membuat senyum miris terukir di wajahku.
Rahang Papa mengeras diikuti dengan wajahnya yang memerah karena marah. Sementara Kak Taeyong hanya menunduk dalam diam.
"Maaf, tapi saya gak pernah dan gak akan pernah malu punya putri kaya Ara," ucap Papa penuh penekanan, membuat Mama yang mendengar itu langsung mendelik ke arahnya.
"Jadi papa lebih belain anak sialan ini daripada mama?"
"Gak seharusnya papa belain Ara." aku tersenyum sarkas, kemudian melepas infus di punggung tanganku dengan kasar. Berniat menuju rooftop rumah sakit yang berada di lantai sembilan.
———
"Takdir sebercanda ini ya." aku terkekeh pelan, kemudian berdiri di ujung rooftop dengan pandangan yang mengarah pada lantai bawah.
"Hei, maafin ucapan gue kemaren ya?"
Aku menoleh dan mendapati Kak Ten yang saat ini tengah berdiri di sebelahku dengan pandangan yang mengarah pada langit yang menunjukkan warna oranye.
"Udah biasa, jadi santai aja," ucapku dengan senyum kecil, kemudian mengalihkan pandanganku ke arah lain ketika menyadari tatapan Kak Ten yang mengarah padaku.
"Gue tulus mau minta maaf," ucap Kak Ten penuh penekanan, "iya, aku tau."
Aku menghela napas panjang, kemudian kembali menatap ke bawah di mana semua orang yang berlalu lalang di lantai paling bawah terlihat sangat kecil.
"Kak, sampein maafku ke mama-papa ya?" Ucapku tiba-tiba yang membuat Kak Ten menatapku dengan kening mengernyit bingung.
"Bilang ke Kak Taeyong juga, gak perlu ngerasa bersalah." aku tersenyum kecil ketika melihat Kak Ten yang mulai terlihat panik.
"Bilang sama temen-temenku juga terutama Ryujin, Felix dan Hyunjin, makasih udah nemenin dan ngasih banyak pengalaman seru beberapa bulan terakhir ini."
"Maksud lo apa sih? Jangan aneh-aneh deh!" Aku terkekeh pelan ketika melihat Kak Ten mendumel dengan wajah paniknya yang terlihat sangat... menggemaskan.
"Maaf juga sering bikin Kakak kesel waktu latihan, tapi aku mau bilang makasih banyak udah ngajarin banyak hal ke aku."
"Lo jangan ngomong macem-macem deh!"
Aku mendengus geli, pria ini benar-benar menggemaskan.
"Ya udah, satu macem aja deh. Pesen aku semoga kalian semua bahagia dan sehat terus di sini."
"Aku pamit pergi ya." Aku tersenyum tipis kemudian menjatuhkan tubuhku dari lantai sembilan itu, bersamaan dengan matahari yang tenggelam.
Satu yang aku tahu, Kak Ten hampir menahan tubuhku saat aku akan jatuh.
Tapi maaf Kak Ten, aku harus pergi.
Terima kasih banyak semua pelajarannya selama ini, semoga ada seseorang yang bisikkin ke Kakak kalau aku sayang banget sama Kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISSIMILAR
Fanfiction"Maaf, tapi saya sudah tidak menginginkan kamu sejak kamu beranjak remaja." A wattpad story by ©aimmortelle_