"Dek, seandainya jadi, bulan depan aku dan karyawan lainnya yang terpilih ada training dari Perusahaan ke Singapore. Tapi ini baru kabar burung saja. Mas sendiri belum dapat info lebih jelasnya."sambil kuseruput kopi hitam buatan Rahma.
Rahma yang posisinya sedang bercengkrama dengan anak-anakpun, akhirnya mendekat padaku, di kursi teras rumah.
"Gimana, Mas. Soalnya suara kamu kurang kedengeran. Itu si Abang nyetel tivi, volumenya terlalu kencang." istriku meminta aku mengulang kembali apa yang tadi diucapkan sebelumnya.
"Jadi begini, Dek, seandainya nanti tidak ada halangan, bulan depan aku ada training ke Singapore. Katanya sih, selain ke sana, pulangnya mampir ke Bangkok dan Malaysia dulu, sekalian jalan-jalan" terangku pada Rahma.
Wajah Rahma terlihat seperti orang yang kecewa, saat aku mengatakan hal tersebut. Entah kaget atau tidak suka jika aku jalan ke Luar Negeri lagi. Sebab enam bulan yang lalu, aku baru saja pulang training dari Hongkong tanpa dia dan kedua anakku.
"Sendiri lagi perginya?" suaranya lemah, seakan dia tidak ikhlas jika hanya aku berangkat.
Bukan tidak alasan kenapa dia bertanya seperti itu, sebab tahun yang lalu, dia dan kedua anakku mendapatkan kesempatan untuk bisa wisata bersamaku bonus dari perusahaan, bersama anggota Keluarga karyawan lainnya."Sepertinya,iya, Dek. Tapi aku belum bisa memastikan apakah seperti kemarin mas ke Hongkong atau seperti tahun lalu kita berangkat satu keluarga lagi. Soalnya minggu depan masih ada meeting lagi, untuk memastikan apakah bonus voucer untuk satu keluarga, atau hanya karyawannya saja." jawabku.
Aku menjelaskan pada istriku seolah-olah sok bijak. Padahal keputusan terkait kapan dan siapa saja yang berangkatnya sudah kudapatkan informasinya, bahkan tiketnya pun sudah ada ditangan seluruh karyawan, termasuk aku.
Artinya seluruh karyawan dan keluarganya saat ini, hanya tinggal menyiapkan keperluan pribadinya saja, sebelum tanggal keberangkatan tersebut.
Lagi-lagi, aku membohongi wajah polos istriku. Wajah cantik dan lugu istriku, akhir-akhir ini sering kubohongi.'Maafkan aku sayang, sudah membohongimu.'batinku
"Jadi tidak bareng keluarga ya, Mas?" tanya istriku datar.
"Sepertinya untuk tahun ini tidak,Dek. Hanya untuk karyawan saja. Tapi ini juga belum info final yang aku dapatkan, masih menunggu hasil rapat manajemen. Hari kamis besok, baru di berikan infonya kembali." jawabku.
Bukannya aku tak ingin berkata jujur kepada Rahma, jika sebenarnya aku sudah mendapatkan empat voucer wisata. Itu berarti, Aku, istriku dan kedua anakku sudah tinggal menyiapkan sesuatunya. Tapi berhubung aku ada rencana mau ajak si Alya, akupun berusaha membohongi Rahma terlebih dahulu.
Jika nanti si Alya menolak tawaranku ini, baru akan kusampaikan jujur, kepada Rahma.
"Aku sih gak ada masalah, Mas. Aku hanya minta waktu kamu, untuk bulan depan nanti, kamu bisa menemani anak-anak pergi ke Bandung atau Yogjakarta. Mereka sudah lama memintaku untuk liburan kesana." jawab rahma dengan nada melasnya.
"Bahkan kalau Mas tau, si Abang pernah minta sama kakeknya untuk jalan-jalan."sambung Rahma, sembari berlalu menuju ke dalam ruangan tengah, karena anakku yang kecil teriak minta di buatkan susu formula.
Aku memang sadari, selama mengenal media sosial dan aktif di dunia maya, aku sudah jarang menemani mereka walau sekedar untuk bermain di rumah.
Padahal dulu setiap sabtu sore, aku selalu mengajak mereka ke pusat perbelanjaan, walaupun hanya untuk sekedar cuci mata dan makan malam saja, keduanya selalu terlihat bahagia."Dek, aku pamit keluar sebentar, kamu mau titip sesuatu,tidak?" sambil kuraih kunci motor yang menggantung di belakang pintu kamar.
"Iya, Mas, hati-hati, jangan terlalu malam pulangnya. Aku sudah ngantuk, anak-anak juga sepertinya mereka sudah kelelahan, setelah seharian bermain." jawab Rahma.
Aku mengakui tugas seorang istri itu sangatlah berat, jika dibandingkan seorang suami. Mulai dari mengurus anak-anak, pekerjaan rumah, sampai kebutuhan suaminya, ketika akan berangkat bekerjapun di urusnya.
Begitupun Rahma, dia tipe istri yang jarang sekali mengeluh, atas apa yang ia lakukan untukku dan anak-anak, paling-paling sesekali ia hanya mengeluh karena ngantuk saja.Wajar sih jika ia mengantuk pada siang hari, setiap hari dia bangun tidur lebih awal dibandingkan aku dan anak-anak. Ia selalu berusaha untuk dapat menunaikan solat malam. Selesai solat malam, dia tidak lantas tidur, dia lanjutkan kembali aktiivitas yang lainnya , sampai tiba azan Subuh.
'Beruntung sekali sebenarnya aku mendapatkan istri seperti Rahma, wanita solehah , penyabar dan taat terhadap suami.'batinku.
Kunyalakan mesin sepeda motor jadul Honda CB100, yang terparkir di samping teras rumah. Motor ini adalah kendaraan yang telah menemaniku sebelum aku menikah dengan Rahma.
"Dek, Aku Berangkat dulu, ya. Dadah Abang, tidur ya sudah malam, Assalamualaikum." ucapku, sambil meninggalkan Rahma dan kedua anakku yang sudah rebahan di tempat tidur.
***
Tepat di depan warung kopi 24 jam yang tak jauh dari rumah, kuparkirkan sepeda motor CB100 ku di samping warungnya.Warung ini sebenarnya kecil, namu setiap hari warung ini selalu ramai di kunjungi oleh para penikmat udara malam. Merka yang datang kesini sambil menikmati semangkok bubur kacang ijo dan segelas susu jahe khas warung tersebut.
Apalagi jika malam minggu tiba, banyak mahasiswa-mahasiswi yang kost di wilayah sekitar itu, yang nongkrong sambil sambil lesehan menggelar tikar, di pinggiran atas trotoar jalanan. Mereka hanya untuk menikmati udara malam hari sambil menyantap ketan susu dan kopi.
Udara malam ini terasa dingin dari biasanya, tak terlihat cahaya bulan yang biasa bersinar di langit. Hanya beberapa sinar kecil yang terpancar dari bintang- bintang yang sudah mulai tertutup awan hitam.
Belum sempat aku menyantap pisang bakar yang baru saja dipesan, ponselku berbunyi.
Panggilan itu dari Alya. Kebetulan sekali dia yang menghubungiku, padahal tadinya aku yang akan menghubunginya untuk meminta jawaban atas ajakanku dua hari yang lalu untuk ikut ke Singapore."Assalamualikum, A-Herman" sapa Alya di seberang sana.
"Waalaikumussalam, Al. baru saja aku mau menghubungi kamu, hehe," ucapku.
"Ah, bisa saja A-Herman ini. Sebenarnya aku dari kemarin mau menghubungi Aa, tapi baru sempat malam ini." jawab Alya.
Sesekali kusantap bubur kacang hijau di mangkok, yang bergambar ayam jago yang rasanya sudah tidak terasa panas lagi.
"Aa, maafin aku ,ya. Sepertinya aku enggak ikut yang ajakan kamu ke Singapore itu, sebab sepupuku ada acara resepsi. Gak apa-apa kan, Aa.?" dengan nada datar, Alya menyampikan kepadaku, bahwa dia tidak menerima ajakanku untuk pergi ke Singapore.
"Jadi , kamu enggak mau ikut, beneran nih?" Aku mencoba bertanya kembali, siapa tahu dia masih ragu.
Tapi, walapun nantinya dia menolak tawaranku ini, setidaknya aku masih ada kesempatan nanti-nanti, untuk mengajaknya jalan, saat aku ada dinas ke luar kota.
"Iya, Aa. Enggak apa-apa, ya? Aa, gak marah sama Aku, kan?" tanya Alya.
Jawaban Alya untuk tidak ikut bersamaku nanti, secara tidak langsung menyadarkanku untuk berkata jujur kepada Rahma.
Seolah olah Alya telah mengatakan bahwa Istri dan kedua anakku lah, yang berhak atas hadiah yang di berikan oleh perusahaan kepadaku.
"Ih..., masa aku marah sih, Aa. Malah jika aku yang ikut, mba Rahma bisa-bisa marah padaku, seandainya dia tau, aku yang ikut menemanimu. Ikuti saranku, ya, Aa." sahutnya.
"Aa harus memberikan yang terbaik untuk keluarga, masih ada hari esok untukku, agar bisa jalan bersamamu." ucap Alya dengan bijak. seolah-olah dia sedang menasihatiku.
"Ya sudah Al kalau begitu, kamu memang yang terbaik untukku."pujiku pada Alya.
"Aku pamit dulu ya, Aa, mau istirahat dulu. Besok, Ibu ngajak ke sukabumi lagi. Daah Aa, Assalamualaikum.Muach...." pamitnya.
"Wa alaikum'salam. Muach juga untuk kamu, Alya".jawabku
Setelah Alya menutup teleponnya, lalu akupun membayar makanan yang tadi sudah kumakan.
Mungkin sudah jalannya, bahwa istri dan kedua anakku lah yang harus menikmati rezeki tersebut, bukan Alya.
"Apapun rencana manusia, tetap Allah-Lah yang memutuskannya"
KAMU SEDANG MEMBACA
KHILAF ( Di KBM App. Tamat bab 50)
RomanceTidak ada wanita yang ingin di khianati oleh pasangannya, ketika kesetiaannya yang sudah di bangun lama, ternoda oleh satu titik luka, yang membekas di hatinya. Jika berpisah adalah jalan untuk mengobati luka itu, sepertinya Rahma siap menjalaninya...