“Mas, mau pergi kemana? ini sudah malam,loh?” tanyaku, pada mas Herman yang sedang mengambil jaket di balik pintu ruang makan.“Aku mau keluar sebentar, cari angin.” jawabnya.
“Mas, boleh aku pinjam waktumu sebentar? Ada yang ingin aku bicarkan padamu.” ucapku pada mas Herman.
“Bicara apa, Dek? bukankah kita setiap hari selalu bertemu,?” jawab mas Herman lalu ia duduk di depanku, sambil merapikan jaket yang baru di pakainya.
“Kita memang selalu bertemu, lagi pula tak mungkin juga kita tinggal satu rumah, tapi tak pernah bertemu. Itu yang aku mau bahas sekarang.” ucapku sambil menutup gorden kaca ruang tamu.
“Ragamu memang ada di tengah-tengah aku dan anak-anak, namun jiwamu tak tahu entah ada di mana. Sebab, hampir tak pernah ada waktu yang kamu sempatkan untuk dapat bercengkrama denganku dan anak-anak.” keluhku, sambil kutatap wajah mas Herman.
“Tapi Dek, kamu juga tahu kan, kalau akhir-akhir ini aku lagi sibuk dengan pekerjaan yang baru di pegang pada posisi ini. Bahkan seharusnya minggu ini, aku harus pergi keluar kota. Jadi, adek tolong mengerti juga dengan aktivitas mas, yang padat ini.” sanggah mas Herman, sambil meneguk kopi hitam buatanku.
“Iya, aku mengerti aktivitasmu saat ini yang begitu padat. Bahkan aku sangat mengerti sekali. Sampai- sampai apapun kegiatan yang mas lakukan, aku selalu mengizinkannya. Jika itu berhubungan dengan pekerjaanmu. Tapi yang aku minta darimu saat ini adalah kewajiban mas, untuk keluarga. Kenapa akhir-ahir ini, mas susah sekali untuk meluangkan waktu sedikit saja, bagiku dan anak-anak?”sesalku.
“I-iya, tapi ....” sela mas herman, namun aku langsung memotongnya dengan sedikit emosi.
“Sebentar dong mas…! Tunggu aku selesai bicara dulu. Setelah itu, silahkan giliran mas untuk berbicara.” sergahku pada mas Herman.
Wajah mas Herman hanya bisa menunduk. Tidak ada suara sedikitpun yang keluar dari mulutnya. Hanya terdengar bebunyian kasar rahang gigi yang saling berbenturan.
Memang seperti ini sebenarnya sifat bawaan mas Herman. Jika ia sedang berbicara serius denganku, Dia selalu nurut padaku tak pernah membantahku, bahkan berkata kasarpun tak pernah melakukannya. Begitupun dengan kekerasan fisik. Belum pernah dia melakukannya sedikitpun padaku, dari mulai menikah sampai dengan detik ini. Justru di mataku, mas Herman adalah tipe laki-laki yang sangat romantis.
Aku menarik nafas Panjang.
“Mas ngerasa kan, akhir-akhir ini lebih sering mementingkan diri sendiri dibandingkan anak dan istri?.”
“Hmm…” mas Herman hanya mendehem.
“beberapa bulan ini, waktu libur yang mas miliki, lebih sering di gunakan untuk kegiatan mas pribadi. Ada saja acara setiap hari libur. Dari mulai memancing, pamit untuk mengerjakan lembur, dan bahkan mas setiap ada acara kumpul-kumpul dengan komunitasnya, mas selalau menyempatkan untuk hadir.
Sedangkan untukku dan anak-anak, apa mas pernah berusaha untuk menyempatkannya?” ucapku.Aku mulai sedikit emosi. Nadaku naik satu oktaf. Dan nafasku mulai terasa sesak.
Namun wajah mas Herman tidak terlihat seperti orang yang bersalah. Malah sedikitpun tidak tampak wajah penyesalan.
“Iya, iya. Mas tahu itu, kok. Lagipula kan, baru-baru ini, aku sibuk dengan aktivitas sendiri.” jawabnya, sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHILAF ( Di KBM App. Tamat bab 50)
RomansaTidak ada wanita yang ingin di khianati oleh pasangannya, ketika kesetiaannya yang sudah di bangun lama, ternoda oleh satu titik luka, yang membekas di hatinya. Jika berpisah adalah jalan untuk mengobati luka itu, sepertinya Rahma siap menjalaninya...