Haruskah aku klarifikasi

1.5K 97 5
                                    


Aku diam bukan berarti aku lemah dan tidak berani untuk bertindak. Namun, aku tak ingin ada keributan dalam rumah tanggaku. Apalagi sampai Keluarga besarku mengetahui tentang ini, tentu mereka akan menceramahiku habis-habisan, sebab mereka sangat sayang padaku, mereka tidak ingin aku disakiti oleh mas Herman.

Dulu sebelum aku menikah dengan mas Herman, Ibu pernah memperkenalkanku dengan seorang laki-laki, yang menurut mereka layak untuk dijadikan sebagai pendamping hidupku, kebetulan satu kampung dengan orangtuaku.

Menurut Ibuku Dia sudah mapan, pengusaha dan secara materi menurut kedua orang tuaku, jika aku menikah dengannya hidupku akan terjamin. Namun waktu itu aku menolaknya dengan halus dan tanpa menyinggung perasaan keduanya.

Salah satu aku menolaknya adalah, aku belum sama sekali mengenalnya dan melihatnya. Prinsipku dulu, ingin punya suami yang beda daerah dengan kedua orang tuaku, berharap nanti kedepannya keluarga ibuku memiliki banyak keluarga dari berbagai suku.

Pada akhirnya untuk urusan calon suami, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadaku, namun tetap semua keluarga besarku harus mengetahui dulu bibit, bobot dan bebetnya.

Aku pun memperkenalkan mas Herman pertama kali pada adik perempuanku, aku jelaskan semuanya tentang mas Herman, termasuk keluarganya. Adikku menyetujuinya dan mendukungku dengan pilihanku ini.

Lalu akupun memperkenalkan mas Herman kepada kedua orang tuaku bahwa mas Herman adalah laki-laki pilihanku yang akan menjadi calon pendampingku nanti.

Oleh karena itu, aku tidak ingin apa yang mas Herman lakukan saat ini sampai diketahui oleh Keluarga besarku. Aku akan lihat dulu, sampai sejauh mana mas Herman memperlakukanku seperti ini, jika memang hal ini terus berlanjut dan mas Herman tetap seperti itu, mau tidak mau, akupun akan mengambil keputusan yang dapat membuat dia menyesal.

“Bun, Handphone Ayah, bunyi, tuh.” teriak anakku yang cowok, sambil menunjuk ke arah Handphone mas Herman yang kuletakan di atas meja.

“Sayang … tunggu sebentar ya, Bunda mau angkat telepon Ayah, siapa tahu penting.”ucapku

“Jangan-jangan itu telepon dari ayah,ya, bun? celetuk si Bungsu, sambil menoleh ke arahku.

“Asik… Ayah, pulang,” timpal Kakaknya.

‘Jangan-jangan, itu telepon dari perempuan yang bernama Alya?, ini kesempatanku, untuk mendekatinya agar aku bisa mengetahui apa maksud dan tujuan mendekati suamiku.’ sebelum Rahma mengambil Handphone suaminya, dia terdiam dan bergumam.

Rahma sangat berharap yang menelepon hanphone suaminya adalah Alya, perempuan yang sedang dekat sama suaminya.

Lalu Rahma pun mengambil Handphone tersebut, tapi sayang panggilan tersebut bukan dari perempuan itu, melainkan  dari suaminya.

“Assalamualaikum,” ucap mas Herman.

“Waalaikumsalam, Mas.” jawabku

“Dek, ada yang menghubungi ke nomor handphone Aku, gak?”tanya mas Herman.

“E-e, anu Mas, tadi ada yang menelepon perempuan, tapi baru aku jawab salam,panggilannya langsung di tutup.” jawabku

“Siapa yang menghubungiku, Dek,?”

“Namanya, Alya … Mas.”

Mas Herman sempat terdiam beberapa menit, tidak ada suara apapun yang terdengar olehku, di sini.

“O-oh, ya sudah kalau begitu. Maaf tadi, ada teman yang bertanya sebentar. Nanti seandainya ada telepon masuk dari siapapun, jangan kamu angkat ya, Dek.”pinta mas Herman

“Iya, Mas, baik. Oh ya, Mas. Acaranya masih lama? Atau sudah mau pulang,?” tanyaku.

Dari arah belakang si bungsu teriak ke arah telingaku, sambil bersandar di punggungku.

“Ayah…!, sudah mau pulang, belum? Ayah, pulangnya kapan?” teriak si bungsu, yang suaranya terdengar oleh mas Herman.

“Setengah jam lagi, ya, Ayah selesai training, nanti ayah kasih kabar sama bunda, kalau sudah mau pulang.” jawab mas Herman

“Ok, Ayah. Nanti hati-hati di jalan, ya.” ucap si Bungsu, langsung melompat kembali ke arah tempat tidur melanjutkan nonton tivi.

“Dek, sudah dulu, ya. Trainner nya sudah datang. Nanti lima belas menit lagi, Aku telepon, ya. Assalamualikum.”  pamitnya

“Waalaikumsalam.”jawabku.

******

Dua puluh menit sudah berlalu, mas Herman belum juga mengabariku. Tapi untuk barang- barang yang akan dibawa ke luar, semuanya sudah kupersiapkan, termasuk pakaiannya mas Herman.

Aku sendiri sebenarnya untuk tempat wisata di Singapore, sudah hampir semuanya aku kunjungi. Tapi tidak untuk kedua anakku.

Walaupun sudah sering ikut wisata seperti ini,  namun saat itu mereka belum mengerti apa-apa, karena waktu itu masih kedua anakku kecil-kecil, sehingga belum bisa menikmati perjalanan wisatanya.

Tring…

Terdengar  bunyi notifikasi pesan masuk di Handphone mas Herman. Berhubung handpone mas Herman sudah kusimpan di dalam laci, jadi kedua anakku tidak mendengarnya.

‘Apakah mas Herman memberi kabarnya melalui sms ke Handphone nya? Sebab kebetulan, jika di lihat dari jam dinding, seharusnya mas Herman sudah menghubungiku untuk memberi kabar, bahwa ia akan pulang.’

‘Tapi enggak mungkinlah, dia kasih kabar lewat sms, karena mas Herman jarang sekali komunikasi denganku lewat sms, dia lebih suka menghubungiku lewat telepon.’  gumamku, sambil kusimpan pakaian yang nantinya akan di pakai mas Herman saat jalan keluar.

“Adik sama Abang, nanti siap-siap,ya. Tas gendongnya punya abang dibawa sendiri, jangan lupa botol minumnya, dimasukan kedalam tas.”ucapku
Rasa penasaran yang tersibak dalam diri rahma, semakin kuat.

Ia pun lalu mengikuti kata hatinya, yang membisikan untuk segera mengambil dan melihat pesan masuk di Handphone Herman.

Dengan perasaan agak sedikit tidak tenang, Rahma pun akhirnya membuka laci meja tempat dimana dia meletakan Handphone Herman.

Grek..! Handle Laci meja di tariknya oleh Rahma.

Rahmapun lalu mengambil Handphone Herman, sepertinya  sudah tidak sabar siapa pengirim sms tersebut.

Dia tekan tombol home di layar handphone Herman. Pada saat menu sudah terbuka dan  menyala, terlihat mata Rahma menatap tajam kearah layar handphone, dengan mulut menganga.

Tidak salah lagi feeling Rahma, sebagai seorang istri, sebab sms tersebut benar pengirimnya adalah Alya.

Saking penasaran karena ingin tahu apa isi pesannya, kali ini Rahma nekat untuk membuka kotak pesan di handphone Herman.

Dia pun sudah siap dengan segala risiko yang akan terjadi kedepannya, jika keputusannya ini akan berefek panjang.

‘Bismillah, Ya Rabb, aku mohon izin padamu, untuk membuka handhphone milik suamiku.’ Rahma bergumam dalam hati, sambil membuka kotak pesan di handphone Herman.

Di menu pesan, tidak banyak sms percakapan keduanya, namun di menu telepon, banyak riwayat  panggilan keluar masuk dari mas Herman ke si Alya, ataupun sebaliknya. 

[Assalamualaikum, Aa, sudah kembali ke hotel lagi atau belum? Apa masih di tempat training?]

#penggalan part 22. Full versi bisa di aplikasi berbayar, sudah part 30

KHILAF ( Di KBM App. Tamat bab 50)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang