‘Mudah-mudahan, perempuan yang bernama Alya itu menghubungi kembali’ gumamku.
Aku sengaja memindahkan handphone mas Herman ke atas meja rias. Supaya jika nanti ada panggilan masuk, aku dapat melihatnya langsung dan segera menerimanya.
Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, sampai dengan satu jam berlalu, handphone mas Herman belum juga ada bunyi panggilan.
Mungkin saja, perempuan yang bernama Alya itu tahu, jika Mas Herman tidak membawa handpone ini, saat training.
“Tangan dan mata ini rasanya gatal sekali, sudah tidak sabar ingin melihat, apa yang selama ini mereka lakukan” batinku.
Sebenarnya aku bisa saja membuka isi handpone mas Herman, tanpa sepengetahuanya. Sebab, handphone dia, tidak menggunakan password atau kata sandi apapun. Hanya saja, aku bukan tipe istri yang ngelunjak sama suami, masih menjaga adab, termasuk jika aku butuh uang atau atm di dompetnya, aku selalu pamit dan mas kadang langsung mas Herman yang memberikan kepadaku.
Entahlah, sampai saat ini, aku masih belum berani melakukan hal tersebut tanpa seizin mas Herman. Begitu juga mas Herman, dia tidak pernah membuka atau mengecek isi handponeku, walaupun handpone milikku ini, tidak menggunakan password juga.
Kulihat kedua anakku masih anteng menonton tivi acara kesukaanya, film kartun. Namun sesekali mereka menanyakan kepulangan Ayahnya. Mungkin anak-anak sudah tidak sabar untuk main keluar, apalagi yang bungsu.
“Bun, Ayah pulangnya kapan?” tanya anakku yang bungsu.
Lalu akupun mendekati dan duduk di sampingnya, sambil membelai rambut panjangnya yang sudah melewati bahu. Anak bungsuku ini, paling suka dibelai rambutnya.
Biasanya rambut dia idak pernah mau dipanjangkan. Sebab menurutnya, kalau rambut panjang, kulit kepalanya sering gatal-gatal, banyak ketombenya. Namun sudah enam bulan ini, rambutnya tidak mau di potong, katanya nanti kalau sudah mau masuk ke Sekolah Taman Kanak-kanak, baru rambutnya boleh dipotong.
“Belum sayang….Nanti Ayahmu kasih kabar sama kita, sebelum pulang ke hotel. Adik sudah lapar, ya? Kalau sudah lapar, biar bunda suapin nasi, ya, sekalian sama Abang?”
“Aku belum lapar, bun. Aku minta susu kotak saja, yang rasa coklat."
“Aku juga, mau susu saja, deh. Aku rasa strowberry, ya.”
“Ya sudah, bunda ambil dulu susunya,ya.” ucapku, sambil berdiri untuk mengambil susu kotak, yang sudah kusiapkan dari bandara.
“Terima kasih, bunda…” mereka berdua mengucapkan terimakasih secara bersamaan.
“Sama-sama. Nanti untuk sampahnya, tolong dibuang ke tempat sampah, ya. Hati-hati minumnya, jangan sampai tumpah ke sprei, nanti banyak semut,loh.” Akupun menyuruh keduanya untuk tetap menjaga kebersihan dan hati-hati saat minum susu kotaknya.
Setelah kuberikan susu pada keduanya, aku berpindah posisi, dari tempat tidur ke kursi di depan cermin, yang ada di dalam kamar. Sekalian menunggu mas Herman pulang, aku menyeduh sebungkus kopi sachet yang tersedia di kamar hotel.
Tiba-tiba aku terpikir untuk melihat akun facebook perempuan itu dan akunnya mas Herman, siapa tahu dari situ aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk tentang hubungan mereka berdua.
Akupun melihat-beranda mas Herman terlebih dahulu, namun dipostingannya tidak ada tulisan atau postingan yang mencurigakan , paling hanya, update status ’ngopi dulu’, atau ‘on the way’, begitu saja yang dia posting setiap harinya.
Di daftar galerinya hanya ada foto-foto selfie atau welfie dia dan teman-teman kantornya saja, tidak ada foto ku sebgai istrinya, atau foto anak-anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHILAF ( Di KBM App. Tamat bab 50)
عاطفيةTidak ada wanita yang ingin di khianati oleh pasangannya, ketika kesetiaannya yang sudah di bangun lama, ternoda oleh satu titik luka, yang membekas di hatinya. Jika berpisah adalah jalan untuk mengobati luka itu, sepertinya Rahma siap menjalaninya...