10. Kenapa Tidak Bisa?

23 8 0
                                    

.

.

.

"Kamu tahu apa yang lebih tajam daripada pisau yang sudah diasah? Mulutmu. Mulutmu seperti ular berbisa, yang bisa membuat seseorang terluka. Kamu harus tau hal itu"

.

.

"Kenapa kamu melakukan hal itu?" tanya Arga menginterogasi Genta yang hanya diam menundukkan kepala saja. Padahal sekarang sudah malam hari, tapi pria itu tidak mengeluarkan suaranya sedikitpun sejak ditangkap dini hari kemarin. Arga mengusap-ngusap wajahnya kasar, merasa pusing harus memberikan pertanyaan namun tersangka tidak menjawabnya sama sekali.

Arga menghela napas. "Coba keluarkan suaramu. Dari kemarin pagi, saya dan tim saya bergantian untuk bertanya pada kamu. Tapi kamu tidak menjawabnya sama sekali. Asal kamu tahu, kalau kamu tetap diam seperti sekarang yang sedang kamu lakukan, itu akan membuat kami semakin mencurigaimu. Karena sama saja seperti menutupi kebenaran," cerocos Arga menerangi agar Genta berbicara. "Dan mana pengacara kamu?"

Jaka menepuk pundak Arga supaya juniornya itu tenang dan bisa mengontrol emosinya. "Mending lo nyari angin ke depan. Biar dia, gue yang urus. Capek gue ngeliat lo ngomel-ngomel kaya emak-emak," ungkap Jaka dengan bahasa informal.

Arga mengelus dada. "Makasih, Bang Jaka. Gue pergi dulu, Bang. Tapi ini beneran gapapa, nih?"

"Iya, udah sana."

"Oke, makasih banyak, Bang. Lo emang pengertian."

Jaka memberikan jari jempolnya. Diantara anggota tim lainnya, Arga dan Jaka memang yang paling dekat untuk dibilang sebagai anggota tim. Mereka berdua akan berbicara informal ketika sedang santai, ataupun sedang berdua saja. Setelah Arga keluar dari ruangan interogasi. Jaka menutup laptop yang diletakan di atas meja. Dia menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Menimbulkan bunyi, lalu memandang Genta dengan tatapan yang serius. Wajahnya yang tadi terlihat santai, kini saat berbeda. Pria beranak satu itu menyorot mata Genta agar remaja itu terintimidasi oleh tatapannya.

"Ini bukan perbuatan kamu, kan?" tanya Jaka dengan senyuman miringnya.

•••

"Hasil autopsi menyatakan korban dicekik menggunakan benang yang tajam," ujar dokter forensik yang menangani autopsi Alex. Dokter itu membuka maskernya. Tangan sebelahnya terulur memberikan map pada Iptu Umad.

"Saya tidak bisa menjelaskan seperti apa benang tersebut. Untuk waktu kematiannya, itu sebelum pukul 12 malam. Dilihat dari kedua pergelangan korban, itu terlihat jelas korban memberontak," jelasnya. "Dia dicekik perlahan-lahan selama kurang 60 detik atau lebih. Namun disentakan akhir, dia langsung ditarik kencang dan menyebabkan arteri karotisnya (pembuluh darah) pecah. Untuk bagian atas kepalanya yang hancur. Itu jelas pelaku memgunakan berbahan keras besi yang tumpul, dan dia tidak melakukannya sekali, namun hingga lebih dari 20 kali."

"20 kali?" beo Saga. Gila! Pembunuh itu memang benar-benar gila!

Tak ada manusia yang sekeji itu. Bahkan psikopat pun, tidak akan melakukannya lebih dari 20 kali untuk memukul kepala seseorang. Umad membaca teliti laporan hasil autopsi Alex yang dokter itu berikan. Ternyata apa yang diucapkan dokter tersebut benar. Dilaporannya tertulis, kalau kepala bagian atas Alex dipukul hingga lebih dari 20 kali.

60 detik yang berhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang