25. Ulang Tahun

26 7 0
                                    


.

.

.

"Manusia adalah monster yang selalu ingin memenuhi hasrat kemauannya."

.

.

Di ruangan Dokter Pandi

"Jaksa Riza?" beo mereka bertiga saat melihat seseorang yang membuka pintu ruangan Pandi dengan kencang. Pria berpenampilan berantakan, dengan bibir yang pucat itu berjalan ke arah mereka. Dia sudah berusaha mungkin untuk mencari siapa orang yang sudah membunuh anaknya sampai sekejam itu, tanpa menunggu penyelidikan dari kepolisian. Namun sayangnya, para anak buahnya tidak menemukan tanda-tanda tentang pembunuh tersebut.

"Ada apa Anda ke-"

"Tolong..., tolong cari siapa pembunuh yang sudah membunuh anak saya," pinta Riza yang tiba-tiba saja langsung duduk di lantai. Saga langsung berdiri dari sofa, begitupun dengan yang lain. Dia benar-benar tidak menyangka jika kedatangan Riza ternyata untuk meminta pertolongan seraya berlutut.

"Maaf, Pak. Bapak bisa-"

"Tolong! Saya ingin dia dihukum seberat-beratnya!" ungkap Riza yang sudah menangis terisak. Ditinggal oleh anak sematawayangnya itu membuat kepedihan di keluarganya. Istrinya sudah seperti orang gila, yang selalu saja mengurung diri di kamar. Tidak mempedulikan perutnya kelaparan atau tidak. Riza sama halnya. Setiap malam dia mencoba melupakan tentang kematian anaknya tersebut, dengan merokok di balkon. Mereka berdua sudah hancur. Mereka berdua telah gagal menjadi orangtua. Mereka berdua merasa ini semua karena perbuatannya. Mereka berdua saling menyalahi dirinya sendiri.

Yuda yang melihat itu merasa kasian. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang kita sayang selama-lamanya, apalagi kalau orang itu adalah anak kita sendiri. Yuda menoleh pada Saga, menyuruh polisi muda itu membantu Riza berdiri. Mengerti tatapan dari kaptennya. Saga mendekati posisi Riza berlutut.

"Lebih baik, Bapak jangan pernah melakukan seperti ini pada kami," ujar Saga yang sudah berhasil membantu Riza dan dia menyuruh pria berkepala tiga itu, untuk duduk disalah satu sofa. Riza menoleh dengan mata sembab. "Maaf, saya tidak akan melakukan hal itu jika bukan karena anak saya."

Mereka bertiga duduk kembali ke sofa. Pandi memberikan beberapa lembar tisu pada Riza, yang diterima oleh Riza dengan ujaran terima kasih.

Merasa suasananya sudah tenang. Yuda menghembuskan napas. "Apa Anda mencoba menyelidiki kasus Jery sendirian?" tanya Yuda yang sangat paham bagaimana cara kerja orang-orang kaya ketika mendapat masalah. Mereka mencoba menyelidiki masalah itu sendiri. Jika tidak ada hasil, baru menyerahkan semuanya pada kepolisian.

Riza tertegun. Namun kepalanya mengangguk. "Iya, saya mencoba menyelidiki kasus anak saya. Tapi... tidak menghasilkan apapun. Para anak buah saya, hanya menemukan hal yang sama persis dengan laporan kepolisian waktu konferensi pers," jawab Riza. "Apa kalian sudah menemukan sesuatu?"

"Sebelumnya saya ingin bertanya," kata Yuda tiba-tiba. "Apa Jery memang suka memotret lekuk tubuh siswa perem-puan?" lanjutnya dengan pelan karena merasa tidak enak.

Riza tidak terkejut, karena dia tahu betul bagaimana perilaku anaknya ketika di sekolah. Seharusnya Riza menyangkal pertanyaan Yuda. "Iya. Dia suka memotret lekuk tubuh siswa perempuan."

60 detik yang berhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang