6. Kasus Pembunuhan

28 10 0
                                    


.

.

"Jika kamu bertanya, 'Apakah kamu bahagia?', maka jawabanku, 'Tidak! Aku tidak pernah bahagia'. Kamu pun bertanya kembali, 'Lalu kenapa kamu bertahan?', dan aku menjawab, 'Karena demi diriku... sendiri'."

.

.

.


Aeera memegang kalung yang ada di lehernya. Jari-jari tangannya mengusap lambang huruf yang ada di kalung tersebut. Dengan gerakan kasar, tanpa meminta tolong. Aeera mencabut kalung dari lehernya sendiri. Tercetak jelas garis berwarna merah di leher Aeera. Dia tak mempedulikan rasa sakit yang menghampirinya.

Drrrrrt!

Aeera merogoh saku hoodie yang dia kenakan. Sebuah nomor asing, tiba-tiba saja menelponnya. Dengan perasaan malas, Aeera menekan tombol hijau. "Dengan siapa?" tanya Aeera.

"Selamat malam, Nona Aeera. Saya Wendra Wirata dari Kepolisian Cakrawala ingin melapor keadaan Ayah Anda."

Dia jelas tau itu suara siapa. Aeera bergumam pelan. "Kenapa?"

"Sekarang Ayah anda sedang berada di rumah sakit"

"Rumah sakit mana?" potong Aeera tak sopan.

"Rumah Sakit Kepolisian Cakrawala."

Setelah mendapat lokasi rumah sakitnya, Aeera berlari kencang tanpa sengaja menjatuhkan kalung silver-nya ke tanah. Dia berlari, mencari taksi agar bisa sampai ke tempat tersebut.

Tangan Aeera melambai dari pinggiran jalan, memberhentikan taksi yang akan lewat. Taksi itu seketika berhenti. Aeera segera masuk ke dalam taksi. "Ke Rumah Sakit Kepolisian Cakrawala, Pak."

"Baik."

Ternyata dari posisinya yang berada di toko mainan—yang dimana itu di apartemen dia tinggal, memakan waktu 30 menit untuk sampai di rumah sakit Kepolisian Cakrawala. Aeera keluar dari taksi, tangan berkulit putih pucat itu merogoh hoodie-nya. "Kembaliannya buat Bapak saja," ujar Aeera dengan napas yang tak beraturan.

Saat sudah berada di rumah sakit Kepolisian Cakrawala. Mata Aeera memandang ke sekitarnya, dia berlari dari satu tempat ke tempat lain. Banyak para narapidana yang dirawat di rumah sakit tersebut.

Aeera tersenyum, saat dia berhasil menemukan posisi ayahnya yang berada di bangsal umum satu.Tanpa banyak bicara, Aeera menghampiri.

"Gimana keadaannya?" tanya Aeera ke arah polisi lapas yang berjaga di samping bankar ayahnya. Polisi bernama Wendra yang tadi menelpon Aeera menjawab, "Dia hanya butuh istirahat."

"Nginep."

"Tapi—"

Aeera menatap tajam polisi tersebut. "Saya mau Ayah saya tidur di sini buat malam ini aja."

Wendra mengulum bibirnya. Pria berpostur tinggi dengan dada bidang yang besar itu hanya bisa mengangguk pasrah. Padahal dokter tidak menyarankan ayahnya untuk menginap. "Tapi..."

"Apa?" tanya Aeera yang sedang mengusap-ngusap kepala ayahnya yang lagi tidur.

Wendra menggeleng. "Tetap tidak bisa."

"Ayah Anda tidak perlu menginap di sini," lanjut Wendra tetap mengikuti perintah dokter dan atasannya. "Kata dokter Ayah Anda hanya butuh 20 menit istirahat di sini, setelah itu saya akan bawa kembali."

60 detik yang berhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang