22. Hera?

18 7 0
                                    


.

.

.

"Kadang kala, kalian membutuhkan bantuan dari orang lain, untuk menguatkan kedua tongkatmu."

.

.

13 tahun sebelumnya....

Farhan menatap lamat putrinya. Dia menyeka hidungnya yang gatal. Tidak ada angin, Farhan langsung menangis. Menundukan kepalanya di bankar Hera. Dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Istrinya meninggal, dan sekarang anak satu-satunya mengalami kebutaan permanen. Farhan tak bisa menerima ini semua. Sungguh tidak bisa.

"Pak Farhan...," panggil seseorang. Farhan mendongak, untuk melihat siapa orang yang memanggilnya. Terpancar wajah kesedihan pada orang tersebut. Dia meletakan lebih dahulu, buah-buahan yang dia bawa di atas bankar. Tangannya merentang, dan mendekat pada posisi Farhan duduk. Dia memeluknya. Mengelus bahu pria itu supaya tetap tegar.

"Bu Kania pasti ditempatkan di tempat yang indah. Dia perempuan yang baik dan berhati lembut. Tuhan pasti akan membawanya ke surga. Jangan khawatirkan tentang hal itu. Dia pasti akan baik-baik saja di atas sana," lontar orang itu mengucapkan kalimat penenang. Nihil. Farhan masih tetap menangis, dan semakin keras suara tangisannya.

"Pak Farhan." Orang itu melepaskan pelukannya, dan memandang Farhan. "Bapak tahu, kan? Kalau saya sangat menghormati Bapak?"

Farhan mengangguk. Hanya orang itu, yang tidak mengkhianati dan selalu menghormatinya. Bahkan Farhan sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Meskipun faktanya orang itu adalah sekretarisnya di kantor.

Orang itu tersenyum. "Nah, daripada Bapak menangisi hal yang sudah terjadi. Lebih baik, Pak Farhan memperbaiki. Memang itu tidak mudah. Sangat tidak mudah. Itu benar-benar sulit. Tetapi, menangisi seseorang yang sudah tiada itu adalah hal yang tidak berguna. Malah sebaliknya, tangisan Bapak akan menyiksa Bu Kania di alam kubur."

Farhan berhenti menangis. "Apa yang kamu ucapkan itu benar?"

"Kenapa saya berbohong kepada seseorang yang tengah berdukacita?"

Yang Farhan suka dari pada sekretarisnya, yaitu kepribadian pria itu. Dia sangat bijak dalam memilih keputusan, teliti, dan bahkan bisa menyesuaikan dengan cepat dirinya pada lingkungan. Kepribadiannya yang friendly dan asik ketika diajak berbicara. Membuat pria itu dikenal oleh para karyawan-karyawan yang lain.

Apalagi Farhan sering meminta sekretarisnya untuk bermain sejenak dengan Hera, atau mengantarkan istrinya ketika dia sedang sibuk. Pria itu tidak pernah mengeluh. Waktu itu, Farhan pernah memberikan gaji yang besar khusus untuknya, sayangnya ditolak karena dia ingin gajinya tetap seperti awal dia masuk. Farhan sedikit kecewa. Akhirnya dia mengirim sisanya pada rekening istri sekretarisnya saja.

"Dimana Riri?" tanya Farhan yang sudah tenang. Sekretarisnya duduk disalah satu bangku didekat bankar Hera. Dia mendongak. Hembusan napas terdengar ditelinga Farhan.

"Dia tidak bisa dihubungi sejak tadi malam."

"Apa kamu sudah melapor ke polisi?" Karena sekarang sudah pagi hari.

60 detik yang berhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang