1. Si Istimewa

51 12 7
                                    


.


.

.

"Kita berbeda. Bukan berarti tak sama."

.

.

Nampak remaja perempuan dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, berjalan di koridor dengan gaya khasnya yang selalu meninggalkan kesan menakutkan. Dia tak mempedulikan tatapan orang-orang ke arahnya, karena sedari dulu dia sudah merasakan hal itu. Tatapan benci serta tak suka.

Brakk!

Bahunya tertabrak. Sontak kacamata hitam yang dia kenakan, jatuh ke lantai.

"Maaf, gue beneran gak sengaja," ujar perempuan yang sudah menabrak bahunya. Pemilik kacamata hitam tersebut ikut berjongkok, tangannya terulur mengambil benda yang ada di tangan perempuan itu. Dia mendongakan kepala. Mata mereka berdua seketika bertemu.

Kilasan setiap kilasan tiba-tiba muncul di penglihatannya. Gambaran tersebut seperti ramalan yang akan terjadi di masa depan. Aeera membuka matanya pelan. Bibirnya tiba-tiba berujar, "Habis turun dari bus Jagratara. Jalan Merdeka nomor 3. Di zebra cross persimpangan lampu merah. Pukul 5 sore lewat 5 menit. Hari senin. Tanggal 13 Agustus. Terjadi kecelakaan, dan lo bakal mati."

Tubuh perempuan itu menegang, saat Aeera mengucapkan sederet kalimat yang dia sama sekali tak pahami. "Elo...," lirihnya dengan nada tak percaya.

Aeera bangun dari posisi jongkoknya. Tangannya bergerak memakaikan kacamata hitam yang sudah retak ke hidungnya semula. Dia menundukan kepala, memandang perempuan yang menabraknya. "Terserah mau percaya apa enggak. Yang mati juga elo ini."

Sangat tak berperasaan, Aeera beranjak dari hadapan perempuan tersebut. Meninggalkan kesunyian yang dia ciptakan sendiri. Dengan cepat, perempuan itu berdiri, berlari mengejar langkah Aeera yang tak begitu jauh.

Dia menarik lengan Aeera. "Maksud lo apa bilang kaya gitu? Emangnya lo Tuhan?" tanyanya dengan deru napas yang sudah tak beraturan. Hingga dadanya naik turun.

Aeera menghembuskan napas pelan. Dia melepaskan tangan tersebut dari lengannya. Tak peduli bagaimana kelanjutannya, Aeera membalikan badan lalu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda tadi.

Bunga yang sudah merasa dongkol pun, menarik dengan kasar rambut Aeera hingga membuat perempuan itu merintih kesakitan. "Gue lagi nanya sama lo! Seharusnya elo jawab!" sungut Bunga.

Aeera mencengkal lengan kurus itu dengan sekali gerakan. Menimbulkan bunyi, lantaran lengan itu tidak searah dengan tulangnya. "Aw! Sakit! Lo gila, ya?!" geram Bunga seraya memegangi bahu kanannya yang diputar oleh Aeera.

"Ternyata rumor tentang lo itu bener, ya. Kalo lo itu gila!" Bunga mendesis. "Seolah-olah mau jadi Tuhan, padahal lo cuman manusia! Yang tau kapan gue mati itu cuman Tuhan!"

Aeera merapihkan rambutnya yang berantakan. Dia membuka kacamata hitamnya. Menatap lekat mata Bunga. Bunga menegukan ludah. Mata Aeera benar-benar mengintimidasi tubuhnya hingga diam tak berkutik.

"Lo ngomong tentang gila. Padahal sendirinya lebih gila."

Bunga tertohok. "Lo yang gila, anjing!"

60 detik yang berhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang