19. Konferensi Pers

24 8 0
                                    

.

.

.

"Titik terlemah seorang ayah adalah putrinya."

.

.

13 tahun yang lalu....

Farhan tetap melangkahkan kakinya meskipun sekujur tubuhnya banyak mengeluarkan darah. Mereka sudah berada di rumah sakit. Hera yang sedang pingsan berada di bankar yang didorong oleh para perawat.

"Pak, lebih baik Bapak mengobati luka yang Bapak dapatkan," ujar salah satu perawat. Farhan menengok, dia menggeleng tak mau. Karena dia hanya ingin melihat bagaimana keadaan putrinya. Pintu ruangan PICU langsung tertutup.

[*PICU (Pediatic Intensive Care Unit) = Ruang perawatan intensif di rumah sakit, bagi anak dengan gangguan kesehatan serius atau yang berada dalam kondisi kritis. Anak-anak yang dirawat di PICU mulai dari bayi berusia 28 hari sampai anak remaja berusia 18 tahun.]

Sekarang satu-satunya yang dia punya hanyalah putrinya saja. Badan istrinya sudah hancur, membuat Farhan tak bisa untuk mencium kening Kania untuk terakhir kalinya. Ketika mengingat itu, Farhan menangis dan dadanya merasa sesak. Tubuhnya bergetar. Perawat yang menyaksikan itu sedikit menghembuskan napas. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggal oleh seseorang yang kita sayang, karena rasanya benar-benar menyakitkan.

"Bapak tunggu sini. Biar saya ambilkan obatnya dahulu," pinta perawat itu. Dia beranjak dari hadapan Farhan untuk mengambil obat P3K.

Farhan mengabaikannya. Kedua telapak tangan Farhan menyatu, dia mencoba menguatkan dirinya sendiri. Nihil. Dadanya tetap merasa sesak yang membuat nada nangisnya hingga berjeda-jeda. "Kamu udah janji buat gak ingkar, Kania. Kamu itu polisi. Kenapa kamu suka sekali mengingkari janji?" lirihnya.

Dia menundukan kepala. Membiarkan rasa sesak yang amat luar biasa itu menyebar. Farhan tak mempedulikan dirinya yang sakit. Asal bukan kedua orang yang dia sayang. Namun, Tuhan berkata lain. "Kita udah janji sama Hera. Apa kamu tetep mengingkarinya?"

"Mas!"

Farhan menoleh. "Bayu!"

Pria bernama Bayu yang tadi memanggilnya itu dengan sergap duduk di samping Farhan. Dari ekspresi wajah kakaknya, dia jelas melihat kesedihan dan kekhawatiran yang bercampur aduk. "Kenapa, Mas? Kenapa bisa begini?" tanya Bayu tak memahami ini semua. Akhirnya dia memberikan pelukan sebagai saudara agar bisa menenangkan Farhan.

"Mas juga gak tahu...," balas Farhan serak. Dia tak menolak pelukan Bayu.

Bayu menghela napas berat. Tidak menyangka kalau keluarga kakaknya akan mengalami kecelakaan seperti ini. Apalagi mereka sedang dalam perjalanan ke rumahnya. Bayu merasa bersalah.

"Terus istri Mas, mana?"

Farhan menatap Bayu. "Dia ada di ruang jenazah dan lagi diperiksa."

Mendengar pernyataan itu. Bayu semakin mengeratkan pelukannya. Kondisi kakaknya saat ini sedang tidak baik-baik saja.

"Permisi," salam perawat tadi yang meminta Farhan agar tetap berada di sini. Dikedua tangannya dia membawa kotak P3K. Bayu mendongak. Menyipitkan mata pada perawat itu.

60 detik yang berhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang