11. Sebuah Penyerangan

25 9 0
                                    


.

.

.

"Penglihatanku tidak salah. Aku jelas melihat kematian orang yang kutatap matanya. Tetapi, kenapa kali ini tidak bisa? Kenapa aku tidak bisa melihat kematiannya? Pertanda apakah ini? Aku merasa takut sekaligus senang secara bersamaan."

.

.

Mereka berdua masih saling menatap satu sama lain. Baru pertama kalinya, Aeera tak bisa melihat kematian seseorang. Aeera memiliki keinginan untuk menjadi manusia seutuhnya. Memandang mata seseorang tanpa rasa takut untuk menyaksikan kematian orang tersebut.

Keinginannya terkabul.

Satu-satunya orang yang membuatnya seperti manusia, hanya Saga, polisi yang sedang menatap ke arahnya. Pria itu yang membuat keinginan Aeera terkabulkan.

Menjadi manusia pada umumnya.

Kemampuan istimewanya seketika menghilang saat melihat kedua mata cowok tersebut. Aeera tak bisa menyaksikan kematiannya. Aeera tak bisa melihat waktu kematian pria itu. Aeera menundukan kepala.

Kenapa seperti ini?

Jauh di dalam lubuk hati, Aeera tentu senang. Tapi kenapa perasaannya tidak enak? Seolah-olah ini bukan pertanda yang baik. Aeera membuang muka. Jujur dia sangat bingung dengan situasi sekarang. Kenapa pria itu tak bisa dia lihat kematiannya? Apa kemampuannya kurang?

"Kamu juga cantik," ujar Aeera pada anak kecil itu. Dia berdiri. Lagi-lagi matanya bergerak sendiri ke arah Saga yang masih memandangnya. Aeera memejamkan mata sejenak. Kemampuannya tidak berkurang. Dia masih tetap bisa melihat kematian anak kecil yang menabraknya.

Dan itu terjadi hari ini.

"Aduhhh, Lilaaa! Kamu udah Mama bilangin duduk di tempat aja sama Ayah. Kenapa kamu lari-larian, Lila?!" omel mama anak perempuan itu yang langsung memukul pelan bokong Lila serta menjewer telinga perempuan itu.

Lila cengengesan. "Maafin aku, Mama. Abisan Mama lama ke kamar mandinya. Yaudah aku lari-larian aja deh."

Mama Lila mengendong anak kecil itu. "Maaf?" permisinya. Aeera menoleh.

"Saya dengar, tadi anak saya tidak sengaja menabrak kamu, ya?" tanya wanita berkepala tiga itu dengan sedikit meringis. "Kalau begitu saya, selaku Mamanya ingin meminta maaf."

"Iya," balas Aeera singkat.

Dia berpikir perempuan muda itu sepertinya marah dengannya.

"Aku udah minta maaf kok, sama Kakak Cantik itu," ujar Lila jujur.

"Makanya lain kali, kamu jangan lari-larian kaya tadi. Ayah dimana?"

"Ayah keluar, angkat telepon."

"Yaudah, kamu samperin Ayah sana." Dia menurunkan Lila dari gedongannya, menyuruh anak kecil itu menghampiri suaminya yang berada di luar cafe. Setelah Lila berlari dengan kaki kecilnya untuk ke posisi suaminya. Dia memandang Aeera dengan senyuman. "Saya benar-benar minta maaf."

60 detik yang berhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang