20. Kertas Merah Berbentuk Segitiga

19 7 0
                                    


.

.

.

"Apakah kamu lupa? Kalau aku bukanlah manusia?"

.

.

13 tahun yang lalu....

Disebuah ruangan tamu bernuansa emas dengan luas ruangan yang sangat besar, ada dua anak kembar berbeda jenis kelamin duduk di atas karpet. Anak kembar itu sedang bermain. Si kembar perempuan yang tengah memegang stetoskop mainan, lalu si kembar laki-laki tiduran dipaha perempuan itu. "Sepertinya hati Abang itu gak baik-baik aja. Aku mendengar suara detak jantung Abang seperti sedang joget," celetuk si perempuan, berpura-pura menjadi dokter.

Si kembar laki-laki menjadi pasiennya. Anak laki itu terkekeh. "Udahlah, Abang males sama Gina. Kan dibilang, cek kepala Abang, bukan dada Abang," ujarnya pura-pura marah. Gina—perempuan itu memayunkan bibir.

"Ih, Abang mah jadi orang baperan!"

"Yang penting Abang ganteng."

Gina mencak-mencak kesal. Memukul bahu abangnya hingga membuat anak laki itu meringis kesakitan. "Sakit, Gina. Abang bilangin Mama ya," ancam sang abang seraya memegang bahunya yang dipukuli Gina.

Gina langsung menangis. Sontak hal itu membuat abangnya dengan sergap membungkam mulut Gina menggunakan telapak tangan. "Diem, Gina. Nanti kamu mau dipukuli Papa?" nasihat sang abang yang sudah was-was dengan sekitarnya.

Gina terdiam. Dia lupa, kalau dia memiliki papa yang kejam. Pria yang sudah membuat Gina ada di dunia ini adalah pria yang jahat. Dia tak segan-segan untuk memukuli tubuh mereka. Padahal usia Gina dan abangnya masih lima tahun. Gina sudah tak menangis. Dia tidak mau kalau abangnya yang dipukuli atau mamanya yang diseret sama pria itu.

Merasa sudah tenang. Perlahan-lahan abangnya melepaskan bungkamannya. Dia memandang Gina tulus. "Lain kali jangan nangis, ya? Gina gak mau ngeliat Abang sama Mama dipukulin Papa, kan?"

Dengan cepat Gina menggeleng.

"Ya udah, jangan nangis."

Prangg!

Tubuh mereka berdua menegang. Abangnya memeluk Gina dan menutupi kedua telinga perempuan itu, karena Gina sangat takut dengan suara bising yang keras. Hal itu akan mengingatkan Gina pada masa lalu yang kelam. Mata abangnya mengelilingi sekitar, menatap satu persatu ruangan yang ada didekat ruang tamu. Gina yang berada dipelukannya sudah gemetar ketakutan.

Nihil, tak ada satupun orang. Lalu darimanakah asal suara bising tersebut?

Praangg!!

Bugghh!!

Pranggg!

Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Jujur dia merasa takut, namun dia harus melindungi adiknya karena gadis itu memiliki trauma. Dia berdiri dan masih memeluk Gina. "Kita ke kamar ya," ucapnya dengan suara pelan. Gina hanya mengangguk.

60 detik yang berhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang