.
.
.
"Ekspetasi memang tidak sesuai dengan realita. Selamanya akan seperti itu."
.
.
13 tahun yang lalu....
Bagi semua orang, rumah adalah tempat untuk pulang. Bahkan sebagian mengatakan, rumah itu tempat yang paling dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis. Sayangnya, itu tidak berlaku di keluarga Dirgantara.
Setiap harinya, mereka harus waspada dengan salah satu anggota keluarga mereka, yaitu sang ayah. Melakukan tugas rumah tangga, dan bermain tidak bisa sebebasnya karena pergerakan mereka setiap menitnya diawasi oleh seseorang.
"Sst!" Si kembar laki-laki membekap mulut adik kembarannya. Tumbuh dalam didikan yang keras, membuat dua bocah itu menjadi pribadi yang sudah terbiasa dengan segala hukuman yang mereka dapatkan dari sang ayah. Merasa sudah tenang, dia melepaskan bekapannya. Dia menunduk.
"Kita pasti baik-baik aja," ujar abangnya untuk menenangkan Gina.
Kepala anak perempuan itu menggeleng dengan cepat. "Mama...," lirihnya dengan airmata, sekuat tenaga dia menahan dirinya untuk tidak menangis bersuara. Abangnya terdiam sejenak. Dia juga ikut merasakan kepedihan yang dirasakan oleh kembarannya. Salah satu tangannya mengepal, dan satu lainnya memegang pundak Gina.
Andai, tubuhnya sudah besar. Mungkin, dia bisa melawan dan membunuh monster yang selalu melampiaskan amarah ke mereka bertiga. Dan akhirnya dia, Gina, dan mamanya akan hidup bahagia tanpa gangguan dari monster itu.
"Mama juga bakal baik-baik aja. Mama kan, sayang sama kita," sahutnya semakin mengeratkan pegangannya dipundak Gina. Mereka berdua sedang bersembunyi dimesin cuci. Mesin cuci satu tabung itu ternyata bisa menampung dua anak kecil yang masih berusia lima tahun.
"Perut Abang...," Tangan Gina terulur memegang pinggang kembarannya yang berdarah. Anak laki-laki itu bergeming. "... berdarah. Pasti sakit, ya?" lanjutnya mendongak.
Dia tersenyum dan menggeleng agar menyakinkan Gina. Sangat dewasa, bukan?
Abang gak bisa ngerasain sakit, Gina....
Rasanya, dia ingin berkata seperti itu pada kembarannya sendiri. Tetapi dia tidak bisa. Dia tidak mau dikatakan monster dan Gina akan menjauhinya. Dia tidak mau hal itu terjadi, karena dia sangat menyayangi Gina.
Gina merogoh ke dalam pakaian dalam atasnya yang dia kenakan. Dia mengeluarkan benda berbentuk persegi penjang dari kaos kutang yang dia pakai, lalu dia julurkan pada kembarannya. "Ak-ku tadi ambil ponsel Mama, karena ak-ku pik-kir bakal berg-guna buat k-kita," gagapnya.
Raut terkejut tercetak jelas diwajah kembarannya. Dia menerima ponsel itu dengan gerakan pelan agar tidak menimbulkan bunyi. Bibirnya melengkung ke atas. "Makasih, kamu lebih pintar daripada Abang."
"Makasih juga, udah jagain aku."
Dengan cepat, jari-jari pendek anak laki-laki itu memencet nomor 110. Mereka benar-benar sedang butuh bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
60 detik yang berharga
Mystery / ThrillerAeera adalah seorang gadis SMA yang semasa hidupnya hanya merasakan kesendirian. Akibat dari kemampuan istimewa yang dia dapat sejak kecil dan cap 'Anak Pembunuh' melekat ditubuhnya, membuat Aeera dikucilkan. Menyaksikan kematian seseorang itu meman...