"Abangku sayang, plis banget ini mah. Gue tahu cara berpikir lo itu primitif seperti pesona dunia lain. Cuma ya nggak usah ditunjukkin ke publik juga, dong. Aduh gusti, ini jadi gue yang malu sumpah."
Haruto baru aja pulang dari ekskul, tapi langsung sambat sewaktu dengar Asahi yang curhat panjang kali lebar. Jujur aja dia masih nggak habis pikir sama cara berpikir Asahi. Kalau aja nggak ingat itu kakak sendiri, mungkin sudah dari dulu dia jual.
Asahi merengut. "Lah terus mau digimanain lagi, dodol? Lo kira gue senaif itu sampe mudah percaya sama orang? Bukti-bukti yang adadi depan mata jauh lebih meyakinkan dari sekedar omongan kalo lo mau tahu."
"ANJ--astaghfirullah, sabar To sabar, lo anak rohis nggak boleh kebanyakan misuh." Haruto nyerah, nggak kuat. "Tapi, nih Bang. Emang lo nggak paham kelakuan si Wakanda Wakanda itu?"
"Wina, bodoh. Jauh banget jadi Wakanda." Asahi ikut emosi, ya sudahlah mau gimana lagi. "Ya tapi, kita nggak boleh prasangka buruk gara-gara beberapa hal, 'kan? Iya gue jujur gue nggak nyaman sama tingkah dia yang sok manis dan mepet-mepet ke gue persis kayak metromini. Cuma rasanya nggak adil gitu kalo naruh rasa curiga karena begitu doang."
Haruto berkacak pinggang, sekarang lagaknya persis ibu kos nagih tagihan. "Nggak adil? Lo mikir nggak adil buat Wina, tapi lo mikir nggak kalo ini juga nggak adil buat Kak Ry?"
Asahi berdecak malas, lalu mengedikkan bahu. "Orang kayak gitu emang bisa ngerasain sesuatu yang nggak adil?"
"ANJING. Aduh astaghfirullah maaf, jadi misuh." Haruto menepuk mulutnya beberapa kali, lalu kembali ke tujuan awal. "Tadi bukannya lo abis cerita kalo dia sampe nangis? Ya itu namanya dia bisa ngerasain sesuatu, dia juga masih manusia yang punya perasaan, bukan robot apatis."
"Tapi--"
"Nggak usah pake tapi-tapian, udah kayak bocah labil aja lo. Sana minta maaf, dia udah baik banget sama lo. Nggak seharusnya lo jadi nggak tahu diri kayak gini." sela Haruto.
"Ck, elah. Lo kenapa jadi sok tahu gini? Kenapa lo bertingkah seakan-akan tahu semuanya? Padahal itu cewek--"
"Ralat, Kak Ry. Dia punya nama." sela Haruto lagi, kali ini sambil menggoyangkan jari telunjuk panjangnya ke kiri dan kanan.
"Oke, whatever. Padahal Ryana juga bukan siapa-siapa lo. Tapi kenapa lo sampe ngebela dia segitunya? Lagi pula, bukti udah ada dan itu NYATA. Dan bisa aja apa yang lo lihat dari dia selama ini, nggak sesuai sama kondisi aslinya dia." tukas Asahi, kayaknya bakal ada perang kakak-adik ini.
Alis Haruto terangkat sesaat sebelum menukik tajam. "Gue tahu dia orang baik, gue kenal dia jauh sebelum lo kenal dia. Emangnya lo nggak inget siapa yang nolongin lo dari Papa?"
Asahi mendelik tajam. "Nggak usah bawa-bawa Papa."
Haruto meneguk ludah kasar sewaktu lihat ekspresi Asahi yang langsung sepet. "O-oke, ya udah. Intinya nih ya, Bang. Bukti nggak selamanya bakal asli seratus persen. Apa lo nggak curiga kalo ini bisa aja dimanipulasi?"
Sekarang giliran Asahi yang bingung. "Hah? Maksud lo gimana?
"Kayaknya kalo buat urusan kayak gini, kepinteran lo yang paripurna itu nggak berguna. Alias, LO BEGO BANGET BANG, SUMPAH." Haruto betulan nggak paham lagi gimana caranya biar Asahi ngerti semua omongannya.
Beralih sebentar setelah memijat pelipis kanannya, Haruto kembali memosisikan diri berkacak pinggang.
"Lo minta maaf sama dia. Titik, valid no debat. Mau gimana caranya lo minta maaf, terserah yang penting pokoknya lo minta maaf. Kalo perlu, koprol sampe ujung berung buat dapet maaf dia. Gue nggak mau punya abang nggak tahu diri macam lo." ucapnya, lalu mengangkat tangan di atas kepala.
Asahi merebahkan diri di atas sofa merahnya, bersedekap sambil bengong dengan tuju pandang ke arah atap. Haruto yang melihat jelas aja bingung, cowok itu berjalan mendekat ke arah kakak satu-satunya itu, lalu mengangkat tangan. Bersiap menyentil dahi paripurna Asahi, kalau aja Asahi nggak lebih dulu mengancam bakal lempar vas bunga.
"Bantuin gue, Tono. Gue nggak tahu caranya," Asahi merengek, beberapa kali menggoyangkan lengan adiknya, bikin Haruto bergidik geli dan melancarkan niat yang sempat tertunda. Menyentil dahi kakaknya.
"Lo hidup udah dari berapa lama, sih? Minta maaf doang padahal, masa nggak tahu caranya?"
Asahi mengedikkan bahu, kemudian merengek lagi. Tolong kasih tahu Haruto dimana letak kamera, dia pusing. Rasanya kayak mau buka give away dosa aja.
"Makanya kalo mau ngapa-ngapain tuh dipikir dulu. Kalo udah kayak gini, lo juga yang ribet. Gue ogah ikut campur, bukan urusan gue juga."
"Tapi--"
Ucapan Asahi tersela oleh ketukan di pintu utama. Haruto inisiatif berjalan duluan buat buka pintu, meninggalkan Asahi yang masih leha-leha di sofa.
"Eh? Tan? Kapan nyampe?"
Mendengar sayup-sayup suara Haruto, Asahi mengernyit. 'Tan'? Apa maksudnya, bibi Asahi datang kesini? Dalam rangka apa? Perasaan Asahi nggak gelar hajatan atau syukuran, deh. Jadi, dibanding harus terus merasa penasaran, Asahi lebih pilih buat berdiri dan langsung nyamperin adiknya aja. Toh nggak ada ruginya juga.
Benar aja, di depan pintu ada Haruto yang lagi ngobrol sama Sana -bibinya- dan kelihatan dari ekspresi mereka berdua kalau obrolannya cukup serius. Asahi jadi kepo. Tanya nggak ya?
"Eh, Tan? Nggak mau masuk dulu?" ucap Asahi basa-basi, lalu menyenggol lengan Haruto yang tampak bengong. "Kenapa nggak disuruh masuk dulu, panjul? Tamu, nih."
"Ng-nggak usah repot-repot, Argas. Tante kesini juga pengin ajak kamu, eh maksudnya kalian. Buat pergi sama Tante, sekarang." ucap Sana, dari wajahnya kelihatan panik, dan Asahi sama Haruto nggak ada yang tahu. Setidaknya, sampai Sana bersuara dua detik setelahnya.
"Ayo ikut Tante ke penjara, Papa kalian ditangkap kemarin. Dan terbukti bersalah atas kelakuan dia. Terutama atas kasus membunuh almarhum Mama kalian, penyalah-gunaan narkoba, perjudian--"
Asahi syok berat, nggak tahu harus apa dan bagaimana. Nggak tahu harus kasih respon apa atau mengekspresikan emosi macam apa. Haruto di sebelahnya juga nggak jauh beda, cowok SMP itu kini justru terbengong.
Cuap-cuap Sana seterusnya nggak lagi didengar. Termasuk penjelasan tempo persidangan dan berapa lama Hanbin ditahan. Asahi nggak dengar, telinganya berdenging nyaring. Sampai ia harus mundur beberapa langkah menjauhi kedua orang itu, diam-diam memukul kepalanya kuat-kuat.
Dunianya gelap, untuk kesekian kali.
***
Moy's Note : Makin gaje, plis. Betewe kalo ada typo bilang ya, biar langsung kuganti. Baiii!
KAMU SEDANG MEMBACA
Support System ; AsaRyu ✔
RomanceAsahi X Ryujin Fanfiction | Romantis | School Life | Non-Baku | Lokal | AU Tentang Asahi, yang tanpa disadari membutuhkan seseorang. Dan Ryujin, dengan tanpa syarat mengajukan diri demi menjadi support system untuk pemuda itu. Tapi, nggak ada yang m...