Part 23

372 80 1
                                    

Rose yakin dia sudah membuka matanya meski rasanya seperti masih terpejam. Gelap menyelimutinya. Dia tak bisa melihat sekitarnya. Hanya ada sebuah cahaya dikejauhan yang sepertinya berasal dari ruangan lain. Rose tak mengerti, entah bagaimana dia bisa berada disitu.

Tangannya menyusup ke dalam saku baju, hendak mengeluarkan tongkat sihirnya. Namun dia terkejut mendapati tongkat sihirnya tak ada disana. Dia memutuskan untuk melangkah mendekati sumber cahaya tersebut tanpa bantuan cahaya apapun.

Ruangan itu terasa sangat jauh baginya. Dia meraba-raba udara kosong, berusaha mengenali sekitarnya dan berharap menemukan apapun yang bisa dia gunakan untuk membantunya mencapai pintu itu.

Telinganya mendengar kepakan-kepakan sayap dari atas kepalanya. Seperti suara kepakan sayap serangga. Anak perempuan itu menengadah. Tapi tetap saja, gelap tak membiarkannya beradaptasi. Perasaan tak nyaman ditengah kegelapan dengan suara ribuan kepakan sayap, membuat Rose ingin cepat-cepat mencapai cahaya itu.

"Tolong... siapapun." Rose merintih. Takut kalau-kalau ada seseorang, atau sesuatu yang tidak diharapkan mendengar suaranya.

Ketika dia tiba diambang pintu dimana cahaya itu berasal, Rose memejamkan matanya sejenak untuk beradaptasi pada cahaya disana. Dan saat dia berhasil beradaptasi, dirinya sudah berdiri diatas papan catur. Berhadapan dengan raja dari bidak putih yang pedangnya sudah terlepas, menandakan dia sudah kalah dalam permainan.

Rose menolehkan kepalanya kesekeliling ruangan. Dilihatnya bidak-bidak catur terguling berantakan. Beberapa diantaranya, bahkan sudah hancur. Rasa takut perlahan mulai merayapinya. Dia seorang diri disana, tak ada seorangpun yang dia ....

"Tunggu." bisiknya pada diri sendiri. "Sepertinya disana ada seseorang."

Rose melangkah ke kiri, ke luar papan catur. Seorang anak laki-laki tergeletak tak bergerak dilantai. Rupanya dia baru saja menjadi tawanan ratu yang berdiri tak jauh darinya. Mata anak perempuan itu melotot ketika akhirnya berhasil mengenali anak berambut merah itu.

"Ron!!" serunya.

Rose langsung berjongkok disebelahnya. Tangannya meraih tubuh Ron, berusaha membangunkannya. Namun, tangannya menembus tubuh anak laki-laki itu. Rose terkejut. Dia kembali berusaha meraih tubuh Ron yang tetap saja tak membuahkan hasil.

"Tidak!" Rose menatap tangannya sendiri. "Tidak! Tidak! Tidak!!"

"Aku meninggalkan tubuhku lagi?" Rose menangis. Dia panik. Bukan karena dia takut tak bisa kembali ke tubuhnya, tapi dia takut jika dia akan kehilangan Ron dan dia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.

"Dia masih hidup!" Rose mengedipkan matanya beberapa kali. Dia menyadari Ron masih bernafas ketika melihat dada anak itu naik turun.

"Syukurlah dia hanya pingsan." Anak perempuan itu berujar lega. "Sekarang, bagaimana cara membawa dia keluar?"

"Ron!"

Rose menoleh dan mendapati Hermione berlari kearah mereka. Dia sendirian. Lalu, dimana Harry?

"Ron, bangun!" Hermione mengguncang-guncang tubuh Ron.

Anak laki-laki itu perlahan membuka mata. Hermione membantunya duduk.

"Mana Harry?" Tanya Ron.

"Ada rintangan diruang depan, kurasa itu karya Snape. Dia memberi 7 botol racun dan sebuah teka-teki." Hermione berhenti sesaat. "Ruangan berikutnya, hanya bisa dimasuki oleh satu orang."

"Kau membiarkannya menghadapi Snape sendiri?!" Ron melotot.

Rose menyela. "Bukan, bukan, kalian salah! Pelakunya bukan Snape!"

ROSEMARY POTTER and The Year She Found HerselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang